HUKUM
SHALAT JUM'AT DENGAN 2 (DUA) ADZAN
SHOLAT
JUMAT DENGAN DUA ADZAN
Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah - Cirebon
ŲØŲ³Ł
Ų§ŁŁŁ Ų§ŁŲ±ŲŁ
Ł Ų§ŁŲ±ŲŁŁ
Ų§ŁŲŁ
ŲÆ
ŁŁŁ Ų±ŲØ Ų§ŁŲ¹ŁŁ
ŁŁ,
ŁŲØŁ ŁŲ³ŲŖŲ¹ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų£Ł
ŁŲ± Ų§ŁŲÆŁŁŲ§ ŁŲ§ŁŲÆŁŁ, ŁŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ Ų³ŁŲÆŁŲ§ Ł
ŲŁ
ŲÆ ŁŲ¢ŁŁ ŲµŲŲØŁ ŁŲ³ŁŁ
Ų£Ų¬Ł
Ų¹ŁŁ. ŁŁŲ§Ł Ų±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŁ ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
:
ŁŲ„Ł Ų®ŁŲ± Ų§ŁŲŲÆŁŲ« ŁŲŖŲ§ŲØ Ų§ŁŁŁ ŁŲ®ŁŲ± Ų§ŁŁŲÆŁ
ŁŲÆŁ Ł
ŲŁ
ŲÆ
ŁŲ“Ų± Ų§ŁŲ£Ł
ŁŲ± Ł
ŲŲÆŲ«Ų§ŲŖŁŲ§ ŁŁŁ ŲØŲÆŲ¹Ų©
Ų¶ŁŲ§ŁŲ© . Ų£Ł
Ų§ ŲØŲ¹ŲÆ
Pendahulan
Adanya 2 adzan dalam sholat jum’at
adalah merupakan kesepakatan para ulama dari masa kemasa dimulai dari masanya
Sayyidina Utsman bin Affan hingga hari ini sampai munculnya pendapat aneh yang
bersebrangan dengan apa yang dijalankan oleh para ulama. Memang benar adzan
jum’at pada zaman Nabi SAW dan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar adalah
sekali yaitu disaat khotib duduk diatas mimbar. Akan tetapi pada zaman
Sayyidina Utsman bin Affan karena semakin banyaknya kaum muslimin maka beliau
menganggap perlu untuk menambahkan adzan dari 1 adzan menjadi 2 adzan. Adzan
yang pertama untuk mengingatkan kaum muslimin bahwasanya hari itu adalah hari
jum’at agar bersiap-siap pergi ke masjid untuk melakukan sholat jum’at. Adapun
adzan yang kedua adalah untuk menunjukan bahwa sholat jum’at akan segera
dimulai. Dan hal seperti ini sudah menjadi kesepakatan para ulama dari masa
kemasa dan tidak ada ingkar sama sekali dari para sahabat Nabi SAW.
Kisah penambahan adzan Sayyidina
Utsman Bin Affan disebutkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohihnya
- Hadits yang diriwayatkan dari Sa’ib Ibn Yazid beliau berkata :
Ų¹Ł Ų§ŁŲ³Ų§Ų¦ŲØ ŲØŁ ŁŲ²ŁŲÆ -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ-
ŁŲ§Ł: "ŁَŲ§Łَ Ų§ŁŁِّŲÆَŲ§Ų”ُ ŁَŁْŁ
َ Ų§ŁْŲ¬ُŁ
ُŲ¹َŲ©ِ Ų£َŁَّŁُŁُ Ų„ِŲ°َŲ§ Ų¬َŁَŲ³َ Ų§ŁŲ„ِŁ
َŲ§Ł
ُ
Ų¹َŁَŁ Ų§ŁْŁ
ِŁْŲØَŲ±ِ Ų¹َŁَŁ Ų¹َŁْŲÆِ Ų§ŁŁَّŲØِŁِّ -ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŁَŲ£َŲØِŁ ŲØَŁْŲ±ٍ
ŁَŲ¹ُŁ
َŲ±َ -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
Ų§- ŁَŁَŁ
َّŲ§ ŁَŲ§Łَ Ų¹ُŲ«ْŁ
َŲ§Łُ -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ- ŁَŁَŲ«ُŲ±َ
Ų§ŁŁَّŲ§Ų³ُ Ų²َŲ§ŲÆَ Ų§ŁŁِّŲÆَŲ§Ų”َ Ų§ŁŲ«َّŲ§ŁِŲ«َ Ų¹َŁَŁ Ų§ŁŲ²َّŁْŲ±َŲ§Ų”ِ" . Ų±ŁŲ§Ł Ų§ŁŲØŲ®Ų§Ų±Ł
Artinya (“Seruan adzan di hari
jum’at mula-mula hanya di saat imam duduk di atas mimbar, hal ini terjadi pada
zaman Nabi SAW dan zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin
Khotob. Pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan saat orang-orang semakin banyak
maka Sayyidina Utsman menambahkan adzan yang ke tiga yaitu di zauro” )
HR Bukhori
Zauro’ adalah satu tempat yang
suaranya bisa sampai ke pasar-pasar.
- Hadits yang di riwayatkan oleh Az-Zuhri beliau berkata :
Ų¹Ł Ų§ŁŲ²ŁŲ±Ł ŁŲ§Ł: Ų³Ł
Ų¹ŲŖ Ų§ŁŲ³Ų§Ų¦ŲØ ŲØŁ ŁŲ²ŁŲÆ
-Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ- ŁŁŁŁ: "Ų„ِŁَّ Ų§ŁŲ£َŲ°َŲ§Łَ ŁَŁْŁ
َ Ų§ŁŲ¬ُŁ
ُŲ¹َŲ©ِ ŁَŲ§Łَ Ų£َŁَّŁُŁُ
ŲِŁŁَ ŁَŲ¬ْŁِŲ³ُ Ų§ŁŲ„ِŁ
َŲ§Ł
ُ ŁَŁْŁ
َ Ų§ŁْŲ¬ُŁ
ُŲ¹َŲ©ِ Ų¹َŁَŁ Ų§ŁŁ
ِŁْŲØَŲ±ِ ŁŁ Ų¹ŁŲÆ Ų±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŁ
-ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ¢ŁŁ ŁŲ³ŁŁ
- ŁŲ£ŲØŁ ŲØŁŲ± ŁŲ¹Ł
Ų± -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
Ų§-، ŁŁŁ
Ų§ ŁŲ§Ł ŁŁ Ų®ŁŲ§ŁŲ©
Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ- ŁŁŲ«Ų±ŁŲ§ Ų£Ł
Ų± Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© ŲØŲ§ŁŲ£Ų°Ų§Ł Ų§ŁŲ«Ų§ŁŲ«، ŁŲ£Ų°Ł ŲØŁ Ų¹ŁŁ
Ų§ŁŲ²ŁŲ±Ų§Ų”، ŁŲ«ŲØŲŖ Ų§ŁŲ£Ł
Ų± Ų¹ŁŁ Ų°ŁŁ". Ų±ŁŲ§Ł Ų§ŁŲØŲ®Ų§Ų±Ł
Artinya : (“Dari Zuhri beliau
berkata sesungguhnya aku mendengar Sa’ib Ibn Yazid berkata : Sesungguhnya adzan
pada hari jum’at mula-mula diadakan saat imam duduk diatas mimbar pada hari
jum’at pada zaman Nabi SAW, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar
bin Khotob. Pada masa kekholifahan Sayyidina Utsman bin Affan saat kaum
muslimin semakin banyak maka Sayyidina Utsman memerintahkan menambah satu adzan
yakni adzan yang ketiga yang dikumandangkan di Zauro’, maka setelah itu seperti
itulah ketetapan adzan di dalam sholat jum’at.” )
Imam Bukhori menyebut adzan yang
ketiga karena secara istilah iqomat juga disebut sebagai adzan seperti
yang disabdakan Nabi SAW.
ŲØŁŁ ŁŁ Ų£Ų°ŁŁŁ ŁŲ§ŁŁŲ© ŁŁ
Ł Ų“Ų§Ų”
Artinya:(Antara 2 adzan ada sholat
sunnah yang sunnah untuk dilakukan bagi yang mau melakukan”).
Rasulullah menyebut adzan dan iqomat
dengan istilah 2 adzan .
Yang bisa di fahami dari dua riwayat
dari Imam Bukhori adalah adzan dalam jum’at yang semula hanya ada 2 yakni
adzan dan iqomat saja, kemudian ditambah oleh Sayyidina Utsman dengan 1 adzan,
seperti disebutkan oleh Imam Bukhori dengan istilah adzan yang ketiga, maka
adzan dalam jum’at adalah adzan pertama, adzan kedua dan iqomah.
Ibn Hajar Al-Asqolani di dalam Fathul
Bari Juz 2 hal 394 berkata :
"ŁŲ§ŁŲ°Ł ŁŲøŁŲ± Ų£Ł Ų§ŁŁŲ§Ų³ Ų£Ų®Ų°ŁŲ§ ŲØŁŲ¹Ł Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł
ŁŁ Ų¬Ł
ŁŲ¹ Ų§ŁŲØŁŲ§ŲÆ Ų„Ų° Ų°Ų§Ł؛ ŁŁŁŁŁ Ų®ŁŁŁŲ©ً Ł
Ų·Ų§Ų¹َ Ų§ŁŲ£Ł
Ų±"
“Yang bisa di fahami sesungguhnya
orang-orang telah melakukan dengan apa yang dilakukan Sayyidina Utsman di
setiap negeri pada waktu itu karena beliau adalah seorang kholifah yang harus
dipatuhi perintahnya”.
Dan sungguh mematuhi Sayyidina
Utsman adalah hakikat sunnah Nabi SAW seperti yang disabdakan Nabi SAW dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Hibban dan Imam Hakim.
Ł
Ł ŁŲ¹Ų“ Ł
ŁŁŁ
ŲØŲ¹ŲÆŁ ŁŲ³ŁŲ±Ł Ų„Ų®ŲŖŁŲ§ŁŲ§ ŁŲ«ŁŲ±Ų§
ŁŲ¹ŁŁŁŁ
ŲØŲ³ŁŲŖŁ ŁŲ³ŁŲ© Ų§ŁŲŁŁŲ§Ų” Ų§ŁŁ
ŁŲÆ ŁŁŁ Ų§ŁŲ±Ų§Ų“ŲÆŁŁ .
“Siapapun
yang hidup setelahku maka akan melihat perbedaan yang banyak, maka hendaknya
kalian semua berpegang kepada sunnahku dan sunnah para Kholifah Ar-Rosyidin.”
Dan itulah yang dipahami oleh
para sahabat Nabi SAW sehingga pada zaman Sayyidina Utsman 2 adzan dalam
sholat jum’at adalah merupakan Ijma atas kesepakatan para ulama dari masa
Sayyidina Utsman bin Affan hingga hari ini. Hingga munculah pendapat yang
berbeda yang seolah-olah mereka lebih tau tentang sunnah Nabi kemudian berani
mengatakan jum’at dengan 2 adzan adalah bid’ah, maka pendapat seperti itu
adalah pendapat yang tidak bisa dianggap sama sekali. Artinya yang
membid’ahkan 2 adzan adalah membid’ahkan para sahabat-sahabat Nabi yang mulia
dan sungguh benar apa yang disabdakan Nabi SAW,
Ų„Ł Ų£Ų®Ų± ŁŲ°Ł Ų§ŁŲ£Ł
Ų© ŁŁŲ¹Ł Ų£ŁŁŁŲ§ Ų£Ų®Ų±ŁŲ§ .
ŲŲÆŁŲ« ŲµŲŁŲ . Ų±ŁŲ§Ł Ų§ŲØŁ Ł
Ų§Ų¬Ł
“Sesungguhnya
umat akhir dari umat ini akan melaknat para pendahulu-pendahulunya”
Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majjah
Terbukti sabda Nabi SAW pada zaman
akhir ini ada orang yang membid’ahkan para salaf dan para sahabat Nabi SAW.
Mungkin ada yang bertanya, Bukankah
sholat jum’at sudah ada pada zaman Nabi SAW ? Akan tetapi kenapa pada zaman
Nabi adzan hanya dikumandangkan sekali kemudian di saat datang Sayyidina Utsman
menjadi 2 kali ? Jawabannya adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat Imam
Bukhori di atas sebabnya adalah orang-orang semakin banyak pada zaman Sayyidina
Utsman dan kota Madinah semakin melebar.
Dalam masalah ini sungguh tidak akan
menjadi masalah bagi orang yang mengerti sunnah Nabi dan bagaimana
berpegang pada sunnah Nabi SAW. Dan sudah menjadi maklum bagi ulama dari
para sahabat Nabi bahwa berpegang kepada Khulafa Ar-Rosyidin adalah juga berpegang
pada sunnah Nabi SAW.
Dari itulah kenapa para
sahabat Nabi SAW bersepakat mengikuti Sayyidina Utsman padahal para
sahabat Nabi juga banyak dari para ulama selain Sayyidina Utsman. Sungguh
mereka tidak mengikuti sahabat Utsman kecuali karena benarnya apa yang
dilakukan oleh Sayyidina Utsman Bin Affan Ra.
Waktu
Adzan yang Pertama dan Jarak Antara Adzan yang Pertama dan Kedua
Masalah jangka waktu antara adzan
pertama dan kedua tidak ada ketentuannya, hanya dikira-kira sekedar agar
kaum muslimin bisa bergegas mempersiapkan sholat jum’at.
Adapun waktu adzan awal para ulama
berbeda pendapat, sebagian mengatakan sebelum masuk waktu dhuhur sebagian lagi
mengatakan setelah masuk waktu dhuhur. Dan perbedaan seperti ini bagi mereka
para ulama sangat sederhana sebab intinya untuk mengingatkan orang-orang agar
bersiap-siap dan bergegas pergi ke masjid .
Pendapat
Ulama Saudi
Berikut ini kami akan menukil
pendapat tokoh-tokoh dari Saudi yang sebetulnya kami tidak perlu mendatangkan
pendapat-pendapat mereka karena dalam buku-buku kitab ahli sunnah wal jama’ah 4
madzhab sudah diterangkan dengan jelas dan gamblang tanpa ada keraguan sedikit
pun bahwa ulama telah bersepakat bahwa adzan dalam sholat jum’at adalah dengan
2 adzan.
Akan tetapi setelah munculnya fitnah
pembid’ahan terhadap 2 adzan atau membid’ahkan adzan tambahan Sayyidina Utsman.
Maka kami perlu untuk menghadirkan pendapat tokoh-tokoh dari Saudi agar
orang-orang yang mengingkari 2 adzan tersebut bisa membaca. Karena kebanyakan
dari mereka yang mengingkari 2 adzan banyak berkiblat kepada para
tokoh-tokoh dari Arab Saudi. Dan dengan sengaja kami nukil dengan bahasa
arabnya secara utuh barang kali ada sebagian pembaca yang mengerti bahasa arab
agar bisa membacanya sendiri. Dan fatwa-fatwa tersebut juga kami nukil secara
utuh tanpa kami kurangi sedikitpun
Yang
pertama datang pertanyaan kepada Syaikh
Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz tentang kapan disyariatkannya 2 adzan dan
bagaimana adzan tambahan yang bid’ah ini bisa terjadi di Saudi dan bagaimana
orang Saudi melakukan bid’ah.
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin
Baz menjawab dan jawaban ini juga dikeluarkan oleh lembaga fatwa
terpercaya dikalangan mereka yaitu Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhust Al ‘Ilmiyah
Wal Ifta’ dan juga Fatwa ini bisa di dapat dalam kumpulan risalah-risalah
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz jilid 12.
Fatwa tersebut berbunyi :
Ų«ŲØŲŖ Ų¹Ł Ų±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŁ ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
Ų£ŁŁ ŁŲ§Ł: "Ų¹ŁŁŁŁ
ŲØŲ³ŁŲŖŁ ŁŲ³ŁŲ© Ų§ŁŲ®ŁŁŲ§Ų” Ų§ŁŲ±Ų§Ų“ŲÆŁŁ Ų§ŁŁ
ŁŲÆŁŁŁ، ŁŲŖŁ
Ų³ŁŁŲ§ ŲØŁŲ§ ŁŲ¹Ų¶ŁŲ§
Ų¹ŁŁŁŲ§ ŲØŲ§ŁŁŁŲ§Ų¬Ų°" Ų§ŁŲŲÆŁŲ«، ŁŲ§ŁŁŲÆŲ§Ų” ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© ŁŲ§Ł Ų£ŁŁŁ ŲŁŁ ŁŲ¬ŁŲ³ Ų§ŁŲ„Ł
Ų§Ł
Ų¹ŁŁ
Ų§ŁŁ
ŁŲØŲ± ŁŁ Ų¹ŁŲÆ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
ŁŲ£ŲØŁ ŲØŁŲ± ŁŲ¹Ł
Ų± Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
Ų§، ŁŁŁ
Ų§ ŁŲ§ŁŲŖ
Ų®ŁŲ§ŁŲ© Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł ŁŁŲ«Ų± Ų§ŁŁŲ§Ų³ Ų£Ł
Ų± Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© ŲØŲ§ŁŲ£Ų°Ų§Ł Ų§ŁŲ£ŁŁ، ŁŁŁŲ³
ŲØŲØŲÆŲ¹Ų© ŁŁ
Ų§ Ų³ŲØŁ Ł
Ł Ų§ŁŲ£Ł
Ų± ŲØŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų³ŁŲ© Ų§ŁŲ®ŁŁŲ§Ų” Ų§ŁŲ±Ų§Ų“ŲÆŁŁ، ŁŲ§ŁŲ£ŲµŁ ŁŁ Ų°ŁŁ Ł
Ų§ Ų±ŁŲ§Ł
Ų§ŁŲØŲ®Ų§Ų±Ł ŁŲ§ŁŁŲ³Ų§Ų¦Ł ŁŲ§ŁŲŖŲ±Ł
Ų°Ł ŁŲ§ŲØŁ Ł
Ų§Ų¬Ų© ŁŲ£ŲØŁ ŲÆŲ§ŁŲÆ ŁŲ§ŁŁŁŲø ŁŁ:
Ų¹Ł Ų§ŲØŁ Ų“ŁŲ§ŲØ Ų£Ų®ŲØŲ±ŁŁ Ų§ŁŲ³Ų§Ų¦ŲØ ŲØŁ ŁŲ²ŁŲÆ Ų£Ł
Ų§ŁŲ£Ų°Ų§Ł ŁŲ§Ł Ų£ŁŁŁ ŲŁŁ ŁŲ¬ŁŲ³ Ų§ŁŲ„Ł
Ų§Ł
Ų¹ŁŁ Ų§ŁŁ
ŁŲØŲ± ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© ŁŁ Ų¹ŁŲÆ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁŁ Ų§ŁŁŁ
Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ
ŁŲ£ŲØŁ ŲØŁŲ± ŁŲ¹Ł
Ų± Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
Ų§، ŁŁŁ
Ų§ ŁŲ§Ł Ų®ŁŲ§ŁŲ© Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł ŁŁŲ«Ų± Ų§ŁŁŲ§Ų³ Ų£Ł
Ų± Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł
ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© ŲØŲ§ŁŲ£Ų°Ų§Ł Ų§ŁŲ«Ų§ŁŲ« ŁŲ£Ų°Ł ŲØŁ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ²ŁŲ±Ų§Ų” ŁŲ«ŲØŲŖ Ų§ŁŲ£Ł
Ų± Ų¹ŁŁ Ų°ŁŁ، ŁŁŲÆ Ų¹ŁŁ
Ų§ŁŁŲ³Ų·ŁŲ§ŁŁ ŁŁ Ų“Ų±ŲŁ ŁŁŲØŲ®Ų§Ų±Ł Ų¹ŁŁ ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲŲÆŁŲ« ŲØŲ£Ł Ų§ŁŁŲÆŲ§Ų” Ų§ŁŲ°Ł Ų²Ų§ŲÆŁ Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł ŁŁ Ų¹ŁŲÆ ŲÆŲ®ŁŁ
Ų§ŁŁŁŲŖ، Ų³Ł
َّŲ§Ł Ų«Ų§ŁŲ«Ų§ً ŲØŲ§Ų¹ŲŖŲØŲ§Ų± ŁŁŁŁ Ł
Ų²ŁŲÆŲ§ً Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ£Ų°Ų§Ł ŲØŁŁ ŁŲÆŁ Ų§ŁŲ„Ł
Ų§Ł
ŁŲ§ŁŲ„ŁŲ§Ł
Ų©
ŁŁŲµŁŲ§Ų©، ŁŲ£Ų·ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŲ„ŁŲ§Ł
Ų© Ų£Ų°Ų§ŁŲ§ً ŲŖŲŗŁŁŲØŲ§ً ŲØŲ¬Ų§Ł
Ų¹ Ų§ŁŲ„Ų¹ŁŲ§Ł
ŁŁŁŁ
Ų§، ŁŁŲ§Ł ŁŲ°Ų§ Ų§ŁŲ£Ų°Ų§Ł
ŁŁ
Ų§ ŁŲ«Ų± Ų§ŁŁ
Ų³ŁŁ
ŁŁ ŁŲ²Ų§ŲÆŁ Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ Ų§Ų¬ŲŖŁŲ§ŲÆŲ§ً Ł
ŁŁ، ŁŁŲ§ŁŁŁ Ų³Ų§Ų¦Ų± Ų§ŁŲµŲŲ§ŲØŲ©
ŲØŲ§ŁŲ³ŁŁŲŖ ŁŲ¹ŲÆŁ
Ų§ŁŲ„ŁŁŲ§Ų±، ŁŲµŲ§Ų± Ų„Ų¬Ł
Ų§Ų¹Ų§ Ų³ŁŁŲŖŁŲ§ً
Artinya;(”Telah benar riwayat dari
Rosululloh SAW sesungguhnya Rosululloh bersabda : “Hendaknya engkau berpegang
dengan sunnah ku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin yang telah mendapatkan
petunjuk. Maka berpeganglah dengan sunnah tersebut dengan
sungguh-sungguh.
Seruan adzan jum’at mula-mula
diadakan saat imam duduk di atas mimbar pada zaman Nabi SAW, Sayyidina Abu
Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada zaman Sayyidina
Utsman bin Affan kaum muslimin semakin banyak. Maka Sayyidina Utsman
memerintahkan menambah adzan yang pertama dalam sholat jum’at dan ini bukanlah BID’AH
seperti yang telah disebutkan yaitu adanya perintah dari Nabi untuk mengikuti
sunnah para Khulafa Ar-Rosyidin.
Dan landasan permasalahan ini adalah
apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi dan Imam
Abu Dawud . (Dan lafadz hadits ini diambil dari Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab beliau
berkata : Telah memberikan kabar kepadaku Sa’ib ibn Yazid : sesungguhnya adzan
itu mula-mula adalah pada saat imam duduk di mimbar pada hari jum’at pada zaman
Nabi Saw, zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan zaman Sayyidina Umar bin
Khotob. Pada masa kekholifahan Sayyidina Utsman tatkala orang-orang semakin
banyak Sayyidina Utsman memerintahkan pada hari jum’at agar diadakan adzan yang
ke 3 yang kemudian dikumandangkan adzan di Zauro’. Dan setelah itu menjadi
tetap lah permasalahan ini seperti itu.
Imam Asqotolani mengomentari hadits
ini dalam Syarah Bukhorinya : “Sesungguhnya adzan yang diadakan Sayyidina
Utsman saat masuknya waktu diberi nama dengan adzan ketiga karena
dianggap sebagai tambahan dari adzan dihadapan imam (diatas mimbar) dan iqomah
untuk sholat. Iqomah di dalam sholat juga di sebut dengan istilah adzan.
Dan adzan (tambahan) ini ditambakan
oleh Sayyidina Utsman saat kaum muslimin menjadi banyak, hal seperti ini
merupakan Ijtihad dari beliau, dan ijtihad ini disetujui para sahabat Nabi SAW
tanpa ada ingkar sama sekali dari mereka. Maka hal semacam ini sudah menjadi
Ijma atau kesepakatan (Ijma Sukuti).”)
Yang kedua Fatwa Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti’ juz 6 hal 162
Teks Fatwa tersebut sebagai
berikut :
ŁŁŁŁ ŁŲ¬ŲØ Ų£Ł ŁŲ¹ŁŁ
Ų£Łّ Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł Ł Ų±Ų¶Ł
Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ Ł Ų£ŲŲÆ Ų§ŁŲ®ŁŁŲ§Ų” Ų§ŁŲ±Ų§Ų“ŲÆŁŁ Ų§ŁŲ°ŁŁ Ų£Ł
Ų±ŁŲ§ ŲØŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų³ŁŲŖŁŁ
، ŁŲ„Ł ŁŁ
ŲŖŲ±ŲÆ Ų¹Ł Ų§ŁŁŲØŁ
ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
Ų³ŁŲ© ŲŖŲÆŁŲ¹ Ł
Ų§ Ų³ŁŁ Ų§ŁŲ®ŁŁŲ§Ų”، ŁŲ³ŁŲ© Ų§ŁŲ®ŁŁŲ§Ų” Ų“Ų±Ų¹ Ł
ŲŖŲØŲ¹، ŁŲØŁŲ°Ų§ ŁŲ¹Ų±Ł
Ų£Ł Ų§ŁŲ£Ų°Ų§Ł Ų§ŁŲ£ŁŁ ŁŁŁ
Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹Ų© Ų³ŁŲ© ŲØŲ„Ų«ŲØŲ§ŲŖ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
Ų°ŁŁ ŲØŁŁŁŁ:
«Ų¹ŁŁŁŁ
ŲØŲ³ŁŲŖŁ ŁŲ³ŁŲ© Ų§ŁŲ®ŁŁŲ§Ų” Ų§ŁŲ±Ų§Ų“ŲÆŁŁ» ، Ų£Ł
Ų§ Ł
Ł Ų£ŁŁŲ±Ł Ł
Ł Ų§ŁŁ
ُŲŲÆَŲ«ŁŁ، ŁŁŲ§Ł: Ų„ŁŁ
ŲØŲÆŲ¹Ų© ŁŲ¶ŁŁ ŲØŁ Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł Ł Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ Ł ŁŁŁ Ų§ŁŲ¶Ų§Ł Ų§ŁŁ
ŲØŲŖŲÆŲ¹؛
ŁŲ£Ł Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ Ų³Łَّ Ų§ŁŲ£Ų°Ų§Ł
Ų§ŁŲ£ŁŁ ŲØŲ³ŲØŲØ ŁŁ
ŁŁŲ¬ŲÆ ŁŁ Ų¹ŁŲÆ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
، ŁŁŁ ŁŲ¬ŲÆ Ų³ŲØŲØŁ ŁŁ Ų¹ŁŲÆ
Ų§ŁŲ±Ų³ŁŁ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
ŁŁŁ
ŁŁŲ¹ŁŁ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
ŁŁŁŁŲ§: Ų„Ł Ł
Ų§
ŁŲ¹ŁŁ Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ- Ł
Ų±ŲÆŁŲÆ؛ ŁŲ£Ł Ų§ŁŲ³ŲØŲØ ŁŲ¬ŲÆ ŁŁ Ų¹ŁŲÆ Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ
ŁŲ³ŁّŁ
ŁŁŁ
ŁŲ³Ł Ų§ŁŁŲØŁ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
ŁŁŁ Ų“ŁŲ¦Ų§ً، Ų£Ł
Ų§ Ł
Ų§ ŁŁ
ŁŁŲ¬ŲÆ ŁŁ Ų¹ŁŲÆ
Ų§ŁŲ±Ų³ŁŁ Ų¹ŁŁŁ Ų§ŁŲµŁŲ§Ų© ŁŲ§ŁŲ³ŁŲ§Ł
Ų§ŁŲ³ŲØŲØ Ų§ŁŲ°Ł Ł
Ł Ų£Ų¬ŁŁ Ų³Łَّ Ų¹Ų«Ł
Ų§Ł -Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁ- Ų§ŁŲ£Ų°Ų§Ł
Ų§ŁŲ£ŁŁ ŁŲ„Ł Ų³ŁŲŖَŁُ Ų³ŁŲ©ٌ Ł
ŲŖŲØŲ¹Ų©ٌ، ŁŁŲŁ Ł
Ų£Ł
ŁŲ±ŁŁ ŲØŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ŁŲ§
Artinya;(“Akan tetapi wajib untuk
kita mengetahuinya bahwa sesungguhnya Sayyidina Utsman bin Affan adalah salah
satu dari Khulafa Ar-Rosyidin yaitu orang-orang yang kita diperintahkan untuk
mengikuti sunnah mereka.
Jika tidak ada riwayat dari Nabi SAW
satu sunnah yang menolak (bertentangan) dengan sunnah para Khulafah, maka
menjadi pasti sunnah para khulafah tersebut adalah Syariat yang harus di ikuti.
Atas dasar inilah kita bisa
mengetahui sesungguhnya adzan yang pertama pada hari jum’at adalah sunnah
dengan pengukuhan dari Nabi SAW di dalam sabdanya : “Hendaknya engkau berpegang
pada sunnah ku dan sunnah para Khulafa Ar-Rosyidin”
Adapun orang yang mengingkari dari
orang-orang baru (akhir zaman) yang mengatakan adzan ini adalah bid’ah kemudian
mengatakan Sayyidina Utsman adalah bid’ah, sesungguhnya mereka sendirilah ORANG-ORANG
YANG SESAT DAN AHLI BID’AH. Sebab sesungguhnya Sayyidina Utsman mengadakan
adzan yang pertama karena sebab yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Seandainya
sebab yang ada pada zaman Sayyidina Utsman juga ada pada zaman Nabi
kemudian Nabi tidak melakukannya tetapi Sayyidina Utsman melakukannya niscaya
kami akan sependapat dengan mereka dan apa yang dilakukan Sayyidina Utsman
harus ditolak. Adapun sebab yang tidak ada pada zaman Nabi kemudian adanya pada
zaman Sayyidina Utsman dan Sayyidina Utsman melakukan atas dasar sebab tersebut
seperti adzan yang pertama ini maka sesungguhnya itulah sunnah yang di ikuti
dan kita pun diperintahkan untuk mengikutinya”.)
Kesimpulan
Kaum muslimin dan muslimat ini
adalah sekelumit dari pencerahan untuk menghindarkan dari fitnah-fitnah yang
ada di masjid-masjid masyarakat kita. Dan mari kita semua kembali kepada sunnah
Khulafa Ar-Rosyidin dengan mempertahankan adzan jum’at dengan 2 adzan dan
bagi masjid yang adzannya hanya ada satu kali kita kembalikan menjadi 2 adzan
yang itu semua adalah demi kepatuhan kita kepada ulama, Khulafa Ar-Rosyidin dan
kepada Rosululloh SAW.
Dan bisa disimpulkan sebagai berikut
:
- Adzan jum’at dengan 2 adzan adalah kesepakatan para sahabat Nabi dan para ulama dari masa kemasa
- Munculnya pendapat yang berbeda dengan ini yaitu pendapat yang membid’ahkan sholat jum’at dengan 2 adzan adalah pendapat yang aneh dan hanya menimbulkan fitnah di tengah masyarakat
- Mari kita membaca ilmu dengan penuh keinsyafanSemoga Allah SWT memberikan hidayah kepada kita semua .
Wallahu a’lam Bish-showab
HUKUM
SHALAT JUM'AT DENGAN DUA ADZAN
Adzan Jum’at Dua Kali
Adzan
shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama
Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab
mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi
di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum
khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
Ijtihad
ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat
tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu
bahwa shalat Jum’at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan
:
Dari Sa’ib ia berkata, “Saya mendengar dari Sa’ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)“. ( Shahih al-Bukhari: 865)
Yang
dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib
naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke
mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin
al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu’in, mengatakan bahwa sunnah
mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang
kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :
“Disunnahkan
adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh,
yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka
yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum’at.
Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain
sebelumnya”. (Fath al-Mu’in: 15)
Meskipun
adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata
ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para
sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”,
yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan
cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam
kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :
“Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma’ sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)
Apakah
itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah
Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut
Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:
“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun sesudah aku “. (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apalagi
adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali
tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi
menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’
sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu
sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan
dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum
di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua
kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu
a’lam bis-shawab.
H.M.Cholil
Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
A Mukaddimah
Sebagai organisasi sosial keagamaan yang
dibentuk oleh kalangan ulama tradisional, NU selalu diidentikkan dengan Islam
tradisional yang pada umumnya dianggap lebih terbelakang dan cenderung mapan
dalam pemahaman mengenai masyarakat maupun pemikiran Islam. Dalam
tradisi pemikiran Islam, keteguhan NU dalam memegang hukum Islam ortodoks
dan ketatnya mengikuti teologi skolastisismenya al-Asy’ari dan
al-Maturidi dianggap menjadikan NU jumud dan menolak modernisme dan
pendekatan rasional dalam pemikiran keagamaan dan berpandangan fatalistik.[1] Karenanya, NU
dianggap berpandangan konservatif yang menolak segala perubahan
atau modernisme.[2] Bahkan Geert menggolongkannya
sebagai Islam “kolotan” karena penerimannya terhadap elemen-elemen sinkretis
yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.[3] Terutama dalam ajaran
taswufnya yang dianggapnya seringkali tergelincir ke dalam praktek-praktek
syirik karena menghubung-hubungkan Tuhan dengan makhluk-makhluk atau
benda- benda. [4]
Pernyataan di atas
agaknya perlu dikritisi, karena di samping tradisi pemikiran Islam yang
dikembangkan NU tidak seperti yang disebutkan di atas, juga anggapan bahwa NU
adalah koservatif, kolot dan tradisional karena diidentikkan dengan Islam
tradisional perlu dibuktikan kembali, di samping jelas pernyataan tersebut
bernada kurang obyektif. Karena tidak jelas apa yang dimaksudkan dalam
pernyataan-pernyataan itu.
Pada dasarnya pengertian
tradisi tidak selalu berkonotasi negatif. Menurut Edward Shills, seperti
dikutip oleh Sahal Mahfudz, terminologi tradisi berarti sesuatu yang ada
sangkut pautnya dengan masa lalu, atau dengan kata lain, segala sesuatu yang ditransmisikan
atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Namun pengertian tersebut masih
belum cukup untuk suatu analisis, karena belum terungkapnya segala sesuatu yang
kaitannya dengan pengertian tradisi ; apa yang diwariskan itu dan
bagaimana penyampaiannnya serta sudah berapa lama ‘tradisi ‘ tersebut
diwarisi. Dalam pengertian lain, seperti dalam The New Encylopaedia
Britannica, tradisi adalah kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan serta
berbagai praktek yang menyebabkan kelestarian suatu kebudayaan atau kelompok
sosial, yang oleh karena itu ia mampu membentuk pandangan hidupnya. [5] Oleh karena itu term
tradisi mengisyaratkan sesuatu yang sakral dan kebenaran yang kudus,
yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan
bersinambung, prinsip-prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi, ruang
dan waktu. [6]
Sementara itu pemahaman
Islam tradisional juga tidak berarti Islam yang sarat dengan khurafat, tahayul
dan bid’ah, atau dengan kata lain Islam yang mengadopsi budaya-budaya lokal
yang tidak bersumber dari al-QurÄn dan al-Hadis. Tetapi Islam tradisional,
seperti dalam pandangan Seyyed Hosein Nasr, adalah Islam yang konsekuen dan
komitmen dengan ajaran Islam yang asli. Karena Islam tradisional
menerima al-QurÄn dan al-Hadis sebagai dua sumber yang diyakini kebenarannya
dan mutlak kebenarannya. Demikian pula Islam Tradisional mempertahankan
syari’ah sebagai hukum Ilahi, sebagaimana ia dipahami dan diartikan
selama berabad-abad dan sebagaimana ia dikristalkan dalam mazhab-mazhab klasik
hukum. Namun demikian, Islam tradisional menerima kemungkinan pandangan-pandangan
segar berdasarkan prinsip-prinsip legal (ijtihad), dan juga memanfaatkan
alat-alat penerapan hukum lain ke dalam situasi-situasi yang baru muncul namun
selalu selaras dengan prinsip-prisip legal tradisional seperti qiyas, ijma’
dan istihsan. Dengan kata lain, dalam Islam tradisional seluruh
moralitas diturunkan dari al-QurÄn, al-Hadis dan dalam tatanan dan aturan
syari’ah benar. [7]
Dalam konteks ini, NU
sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki tradisi dan sistem nilai yang
dianut dan dipegang kuat serta diyakini kebenarannya. Karena itu, sistem
nilai inilah pada dasarnya yang membentuk karakter dan identitas
tersendiri bagi NU.
Adapun sistem nilai yang
dimaksud adalah prinsip-prinsip ajaran, tuntunan atau haluan bagi
praktek-praktek keagamaan maupun sosial kemasyarakatan yang berlaku di
lingkungan NU dan dipandang dari sudut dogmatis. [8] Dalam hal ini,
paham Ahlussunnah wa al-JamÄ’ah dengan segala ajaran-ajarannya menjadi
sistem nilai yang menjadi acuan dasar serta pandangan yang bersifat ideologis
bagi NU.
B. Faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
1. ASWAJA ;
sejarah dan pertumbuhannya.
Jika dilihat dari latar
belakang lahirnya, maka faham ASWAJA merupakan jalan tengah di antara
aliran-aliran teologi yang berkembang saat itu. Kecenderungan yang berlebihan dalam
menggunakan akal dan kebebasan perbuatan manusia (free will dan free
act) serta sikap fatalism atau predesnation telah
mengantarkan umat manusia pada kekerasan dan penindasan di satu sisi, dan
kemunduran dan ketidak- berdayaan terhadap realitas kehidupan di sisi lain.
Kondisi demikian akan semakin parah ketika perbedaan faham di atas dimanfaatkan
oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Akibatnya berbagai fitnah
menyebar dan korban berjatuhan atas nama “agama”.
Dalam konteks itulah, ASWAJA berusaha
mengembalikan kemurnian agama Islam dan berupaya mempersatukan kembali umat
Islam yang tercerai berai. Melalui konsep sunnahnya, ASWAJA
mengidentikkan diri sebagai ajaran yang mengikuti dan mengamalkan Hadis Nabi
Muhammad SAW. Al Sam’ani (w. 1166) mengidentikkan al-sunnah sebagai
lawan dari bid’ah (penyimpangan) yang terjadi dan marak di
mana-mana.[9] Sedangkan Jalal Muhammad Musa
mengartikan sunnah yang dimaksud dengan metode atau thariqah, yaitu mengikuti
metode para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat,
dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada Allah sendiri,
tidak mereka-reka menurut daya nalar manusia semata-mata.[10]
Adapun konsep jamÄ’ah yang
dimaksud dalam ASWAJA adalah memiliki beberapa pengertian. Dalam hal ini
al-Syathibi menyebutkan lima definisi, pertama, mayoritas kaum muslimin
(am,al-aswad al ‘az). Kedua, para ulama
mujtahid. Ketiga, para sahabat Nabi. Keempat, kesepakatan orang Islam. Dan kelima,
golongan kaum muslimin dengan satu pemimipin. [11]
Dalam sejarah Islam, jauh sebelum
munculnya Al-Asy’ari dengan konsep ASWAJA nya, telah terjadi pergolakan besar
yang terjadi pada permulaan Islam, sebuah pertikaian antar kaum muslimin yang
menjadi titik sejarah munculnya kelompok-kelompok kaum muslimin, dua orang sahabat
Nabi SAW; Abdullah bin Abbas (w. 67 H) dan Abdullah bin Umar (w. 74),
mengungkapkan sikap tentang perlunya mengembangkan solidaritas dan persatuan
umat. Keduanya dengan serius mulai melakukan kajian-kajian terhadap al-Sunnah
sebagai jalan memahami agama dengan benar dan mendalam. Pandangan-pandangan
kedua tokoh tersebut di kemudian hari akan menjadi corak pemikiran
ASWAJA. [12]
Sikap moderat kedua tokoh di atas
selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar Hasan al-Basri (642 M/ 21 H).
Bahkan dia lah orang yang pertama memformulasikan solusi sunni mengenai krisis
pada tahun 656-661, khususnya semangatnya yang berkewajiban untuk tidak memecah
belah umat dan penerimaannya terhadap Khulafaurrasyidin dan Bani Umayah sebagai
pemerintah yang sah. [13]
Pada perkembangan sejarah pemikiran
Islam berikutnya, term Ahlusunnah wa al- Jama’ah, menjadi lebih popular
setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/ 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.
994 M), mengajukan gagasan kalamnya sebagai antitesis terhadap
pikiran-pikiran Mu’tazilah yang sebelumnya mengalami masa-masa kejayaan,
terutama di zaman khalifah-khalifah Bani ‘Abbas al Ma’mun dan al Wasiq (813
M-847 M ), dan mencapai puncaknya ketika Khalifah al Ma’mun di tahun 827 M
menjadikan faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang di anut negara. [14]
Namun pada tahun 1063 M, di mana Perdana Menteri Dinasti dipegang oleh Nizam
al-Mulk, pemikiran-pemikiran ASWAJA mendapat tempat di mata masyarakat, dari
kecenderungan berfikir rasional ‘ala Mu’tazilah kepada berfikir tradisional,
dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, didirikan
sekolah-sekolah yang diberi nama amiah,al-Niz, dan di antaranya di Bagdad di mana
al-Ghazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah inilah diajarkan teologi
Asy’ariyah. Pembesar-pembesar negara juga menganut aliran Asy’ariyah. Dengan
demikian faham Asy’ariyah sejak itu mulai tersebar luas bukan hanya di daerah
kekuasaan Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya. [15]
2.
ASWAJA ; sebagai sebuah sistem nilai NU.
Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah
memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham ASWAJA dengan
mempertahankan, melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karenanya secara eksplisit, tujuan NU adalah mengembangkan
ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari
penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat
dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut :
”Adapoen maksoed
perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari
mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik
bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan
mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.” [16]
Dalam anggaran dasar
tersebut selanjutnya disebutkan bahwa: ” Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja
dipakai oentoek mengajar, soepaja diketahoei pakah itoe daripada kitab-kitab
Ahlussunnah wal Djama’ah atoe kitab-kitab ahli bid’ah.” [17]
Dalam anggaran dasar di
atas, tampak jelas NU menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari
bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaharu. Pendidikan harus
ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu
dari gagasan-gagasan kaum pembaharu. Dalam kenyataannya NU memiliki sebuah
badan sensor yang memutuskan kitab-kitab mana yang diangap mu’tabar,
yakni aman dibaca. Pada muktamar NU pertama menghasikan kesepakatan perlunya
seleksi atas fatwa-fatwa yang berbeda, di samping seleksi atas kitab-kitab mazֹhab Syafi’i itu
sendiri.
Dalam beberapa kali
muktamar, antara lain tahun 1961 dan 1979 telah terjadi perubahan anggaran
dasar, namun secara subtansial pada dasarnya angaran dasar NU tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Dalam anggaran dasar tahun 1961, misalnya,
tidak disebutkan secara eksplisit Ahlussunnah wa al-Jama’ah, namun dalam
bagian tujuan NU disebutkan bahwa tujuan NU adalah menegakkan syari’at
Islam dengan haluan salah satu dari mazhab empat. Dalam muktamar NU XXVI
di Semarang tahun 1979, disebutkan pula tujuan NU seperti dalam muktamar
sebelumnya. Selanjutnya tahun 1984 dalam Muktamar NU ke XXVII di Situbondo
menetapkan bahwa faham Ahlussunnah wa al-JamÄ’ah sebagai landasan akidah
bagi NU;
” Nahdlatul Ulama
sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah
wal JamÄ’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hambali”.[18]
Perubahan-perubahan
anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham
keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar
hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas
itu terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi
inti pokok kehidupan keagamaan NU.
Jika dilihat dari
anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah
merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku
di NU. Namun demikian, ASWAJA yang dikembangkan oleh NU berbeda dengan yang
dikembangkan oleh kalangan pembaharu yang juga mengkliam sebagai penganut ASWAJA
dan menobatkan dirinya sebagai pembela Islam puritan (murni) yang kembali
kepada al-QurÄn dan al-Hadis serta menolak taklidisme (pembekuan). Dapat
dilihat dari pernyataan pembaharu ; Ibnu Taymiyyah, tentang mazhab Ahlussunnah
wa al-Jama’ah;
”Mazhab Ahlussunnah wal
Jama’ah merupakan mazhab yang telah lama. Disebutkan Abu Hanifah, Syafi’i,
Malik dan Ahmad ibn Hanbal (pengikut mazhab ini). Madzhab tersebut merupakan
madzhab sahabat yang mereka terima dari nabi mereka. Siapa yang
menyimpang dari madzhab tersebut dia pembid’ah, menurut faham Ahlussunnah wal
Jama’ah. Mereka sepakat bahwa ijma’ sahabat sebagai hujjah, dan mereka
berselisih faham tentang ijma’ sesudah mereka.” [19]
Akan tetapi klaim di
atas, pada sisi lain, justru memunculkan reaksi keras dari kelompok Islam
tradisional. Bagi NU, paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah bukanlah sosok
Islam puritan dan ekstrimisme, tetapi paham yang menekankan keseimbangan
pada dalil naqliyah dan aqliyah. Ekstrimisme rasio tanpa
terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini.
Demikian pula ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa
interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemas,lahatan atau kemafsadatan
yang dipertimbangkan secara matang. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya
sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat,
sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.[20]
Oleh karena itu, paham
ASWAJA tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan NU, namun
merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, ada
empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan bagi
NU :
Pertama, tawasuth dan i’tidal,
yakni sikap tengah yang berintikan kepada prinsip menjunjung tinggi keharusan
berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar
ini, NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap membangun serta
menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
Kedua, sikap tasamuh,
yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah
keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi khilÄfiyyah,
maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga, sikap tawazun,
yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT ,
khidmat kepada sesama manusia serta khidmat kepada lingkungannya. Menyerasikan
kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
Keempat, prinsip amar ma’ruf
nahi munkar, yakni segenap warga NU diharapkan mempunyai kepekaan untuk
mendorong berbuat baik dan bermanfa’at bagi kehidupan bersama, serta mencegah
semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[21]
3. ASWAJA ;
sebagai sebuah tradisi pemikiran NU.
Di lihat dari latar
belakang kelahirannya, paham ASWAJA sebenarnya lebih merupakan sebuah
madzhab dalam akidah. [22] Karena kemunculannya adalah bagian dari salah satu
madzhab teologi yang ada ketika itu. Olah karena itu, pada dasarnya ASWAJA
adalah gerakan pemikiran yang menekankan kemurnian agama Islam, persatuan kaum
muslimin dan keseimbangan yang harmonis antara aspek normativitas dan
aspek historisitas.
Sebagai mazhab pemikiran,
ASWAJA memiliki corak tersendiri yang membedakan dengan pemikiran madzhab
lain.
Pertama, al-iqtisadl wa
al-tawassuth, yakni sikap moderat yang menengahi antara dua pikiran yang
ekstrim; antara Qadariyyah (freewillisme) dan Jabariyah
(fatalisme), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah,
dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.
Kedua, watak pemikiran ASWAJA
adalah toleran (tasamuh) terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai
pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang
apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat
menjadikan ASWAJA memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal
umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Sebuah wacana
pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek
relasi sosial.
Dalam bidang pemikiran,
ASWAJA tidak hanya sangat responsif terhadap berbagai pemikiran mazׂhab yang masih eksis di
tengah-tengah masyarakat, seperti madzhab empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w.
150 H/ 767 M), Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M), Imam Mumahhad bin
Idris al-Syafi’I (w. 204 H/ 820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855
M), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti Imam
Daud al-Dhahiri (w. 270 H/ 884 M), Imam Abdurrahman al-‘Auzai’ (w. 157 H/ 774
M), Imam Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/ 778 M) dan lain-lain.
Dalam diskursus sosial budaya,
ASWAJA banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang berkembang di
masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha
mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam ASWAJA tidaklah
memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu tidak mengherankan jika tradisi
ASWAJA yang dikembangkan NU terkesan wajah syi’ah atau bahkan juga Hinduisme.
Sikap toleran ASWAJA
yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi
kemanusiaan secara lebih luas. Hal
ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah
dunia. Pluralisme pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah sebuah
keniscayaan. Dan ini akan mengantarkannya pada visi kehidupan dunia yang rahmatan
lil ‘alamin di bawah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. [23]
Dalam tradisi pemikiran NU, pemikriran
madzhab ASWAJA diformulasikan dalam tiga hal :
Pertama, dalam bidang hukum-hukum Islam,
menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali). Namun dalam prakteknya mayoritas kalangan di NU adalah
penganut setia madzhab Syafi’i.
Kedua, dalam soal-soal tauhid, menganut
ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al Maturidi.
Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut
dasar-dasar ajaran Abu Qasim al-Junaedi al -Bagdadi dan Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali. [24]
Ketiga pemikiran keagamaan di atas bagi
NU merupakan tradisi ilmu keagamaan yang masing-masing memiliki pertautan organis
antara ketiganya secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang
menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi
dari kehidupan. Pertautan kedua dimensi dalam kehidupan itu merupakan mekanisme
kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk dapat menghadapi tantangan
sekularisme dan modernisme. [25]
4.
ASWAJA ; sebagai sebuah tradisi kepemimpinan ulama.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa NU
memiliki karakteristik tersendiri dari organisasi lain. Salah satu di antara
itu adalah otoritas dan kepemimpinan ulama.[26]
Dalam lingkungan NU, ulama memiliki posisi yang sangat strategis, di samping
karena pengaruh tradisi keagamaan yang dikembangkan, yakni paham Ahlussunnah
wa al-Jama’ah yang mengharuskan penghormatan dan otoritas ulama, juga
pemilihan nama organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) menggambarkan
posisi sentral ulama dalam NU. [27]
Dalam perjalanan sejarah Indonesia,
ulama memiliki multi fungsi. Satu saat ia berfungsi sebagai dinamisator masyarakat,
namun pada saat yang sama ia berperan sebagai stabilisator. Dengan
dilatar belakangi oleh misi Islamisasi dan membentengi umat dari ancaman
sekularisasi, ulama terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik di masa
penjajahan dan kemerdekaan di satu sisi, serta mempertahankan kebudayaan Islam
dan homogenitas masyarakat di sisi lain. Kecuali itu, peran utama ulama
tetap dipertahankan, yaitu sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan
keyakinan itu sendiri melalui pengajaran ilmu-ilmu agama. [28]
Namun demikian tidak
berarti seorang yang ahli suatu ilmu agama Islam disebut ulama. Dalam tardisi
NU, seseorang baru disebut ulama jika ia memiliki kedalaman ilmu agama
dan pernah menempuh jalur pendidikan (mengaji) di pesantren.[29] Oleh
karena itu, dalam menetapkan atau memberikan gelar ulama, NU memberikan
kriteria sebagai berikut :
Pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh
seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman
Allah SWT dalam surat Fathir ayat 28.
Kedua, seorang ulama mempunyai tugas utama
mewarisi missi (risalah) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran,
perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Para ulama adalah pewaris Nabi.
Ketiga, seseorang disebut ulama apabila
memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti: tekun beribadat (baik
yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari ukuran dan
kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akherat (ilmu agama dalam kadar
yang cukup), mengerti kemashlahatan umat (peka terhadap kepentingan
umum) dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dilambari niat yang baik
dalam berilmu maupun beramal. [30]
Kedudukan ulama yang sentral di atas,
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang berkembang di masyarakat
juga. Pada mulanya, paham keulamaan itu hanya berlaku di kalangan pesantren dan
masyarakat sekelilingnya. Tata hubungan antara santri dengan kiai dan anggota
masyarakat dengan pesantren, penuh simbol kesopanan yang pada dasarnya
pengakuan terhadap kepemimpinan dan otoritas ulama. Namun dengan lahirnya NU,
paham keulamaan ini semakin menampakkan bentuknya dalam formulasi yang cukup
jelas. Penempatan Lembaga Syuriyah pada struktur paling atas dalam kepengurusan
NU merupakan bukti perwujudan paham keulamaan tersebut.
Secara formal keharusan mengakui
kedudukan dan otoritas ulama tertulis dalam AD-ART NU Pasal 7, ayat 1-2 :
”Kepengurusan NU terdiri dari Syuriyyah
dan Tanfidiyyah. Syuriyah merupakan pimpinan tertinggi NU yang berfungsi
membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan Nahdlatul Ulama.
Sedangkan Tanfidiyyah merupakan pelaksana sehari-hari ”. [31]
Selain itu, pengurus Syuriyyah yang
terdiri dari para ulama atau kiai, mempunyai hak veto dalam tugasnya
sebagai pengawas organsisasi. Hal veto itu dicantumkan secara jelas dalam
ART-NU :
” Dalam rangka pembinaan, pembimbingan
dan pengawasan, maka Syuriyyah berkewajiban setiap saat memberikan teguran,
saran dan bimbingan kepada seluruh perangkat organisasi.
Apabila suatu keputusan atau
kebijaksanaan suatu perangkat organisasi dianggap tidak sesuai dengan ajaran
Islam, maka Syuriyyah berhak membatalkan. Dan pembatalan tersebut diambil dalam
suatu rapat pengurus Syuriyah lengkap”. [32]
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa pada dasarnya jami’yyah NU adalah jam’iyyah-nya para
ulama. Peranan ulama di dalam NU tidak sekedar pemimpin tertinggi, melainkan
juga pengawas, pembimbing, pembina dan penegur apabila ada penyimpangan.
Peranan seperti itu, tentu saja banyak
berpengaruh dalam kebebasan berorganisasi yang telah diatur oleh Anggaran
Dasar. Misalnya dalam soal pemilihan ketua tanfidiyyah yang seharusnya dipilih
secara bebas oleh muktamar, sedikit banyak akan terwarnai oleh otoritas ulama.
Dengan kata lain, betapapun hebatnya seorang calon pemimpin tanfidiyyah, tanpa
mendapat legitimasi dari ulama, sulit dapat diterima.
Oleh karena itu, besarnya independensi
dan otonomi ulama dengan pesantrennya tidak jarang membuat NU mengalami
hambatan dalam melakukan konsolidasi. Dengan semua kekuatan kultural yang
dimilikinya, kiai dan pesantren bagaikan wilayah yang terpisah dari jaringan
kepemimpinan NU yang tunduk pada hirarkhi otoritas keorganisasian.
Di satu sisi, kiai dan pesantren
merupakan bagian dari warga NU yang terikat oleh seperangakat peraturan
organisasi, dalam arti bahwa semua sikap dan tindakan yang memerlukan
keselarasan irama harus berada di bawah koordinasi organisasi. Namun di sisi
lain, pola hubungan mereka dengan masyarakat dan warga NU yang berproses secara
mandiri dan berpijak pada kebesaran kharismanya menyebabkan munculnya kesulitan
mengefektifkan jalur koordinasi yang ada dalam NU. [33]
C.
Khulashah
Dalam pandangan penulis, untuk
memperoleh potret NU dengan sesungguhnya belumlah cukup hanya melaui kajian
historis saja, tetapi kajian terhadap sistem nilai dan tradisi yang berlaku di
lingkungan NU justru akan lebih membantu dalam melihat NU secara
komprehensif. Karena pada dasarnya apa dan mengapa NU ada dan bersikap,
tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai dan tradisi pemikiran yang berlaku di
NU; yaitu keteguhannya untuk mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan
paham Islam ‘ala Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Demikian pula tradisi
kepemimpinan ulama yang berlaku di lingkungan NU juga banyak menentukan
perilaku dan keputusan di NU.
*
Makalah disampaikan pada acara Latihan Kader Muda (LAKMUD) X PAC. IPNU – IPPNU
Kaliwungu pada tanggal 12 Pebruari 2011 di SKB Cepiring Kendal. Penulis adalah
Dosen IAIN Walisongo dan Wakil Sekjen Jam’iyyah Ahlith Thariqah
al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam in the Modern World (Tarj),
Bandung : Pustaka, 1987, hal. 3. Dalam catatan kakinya, Seyyed Hossein
Nasr memperkuat dengan pendapat Schoun dalam pengantar untuk Understanding
Islam, “ Tardisi bukanlah suatu mitologi yang kekanak-kanakan dan usang
melainkan suatu sains yang bebar-benar nyata.
[7]
Seyyed Hossen Nasr, Ibid, hal. 4-5. Lihat pula Abdurrahman Wahid,
makalah NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta :
LkiS, 1999, hal 154
[9]
KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran
dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA,
LkiS, Yogyakarta, 1999, hal. 35
[10]
Jalal Muhammad Musa , Nasy’ah al Asy’ariyah wa Tatawwuruha, seperti
dikutip oleh Ali Khaidar, Op. Cit, hal. 67
[11]
Al Syathibi, al I’tishom, Baerut : Dar al Fikr, Vol. III, hal.
136-142. Dikutip dari Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 35.
[13]
W. Montogmery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Tarj),
Tiara wacana, Yogyakarta : 1999, hal. 104.
[14]
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejaran Analisa Perbandingan,
, Jakarta: UI-Press 1986, hal. 61.
[16]
Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel ‘Oelama, diterbitkan sebagai suplemen Javasche
Coerant 25 Pebruari 1930 dan dimuat kembali sebagai lampiran dalam Anam
1985. Lihat Martin Van Bruinnessen, Op. Cit, hal. 42.
[18]
Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam
Politik, Jakarta : Gramedia, 1995, hal. 69-70.
[19]
Taqiyyuddin ibn Taymu\iyyah, Minhaj al Sunnah al Nabawiyyah fi Naqd Kalam al
syi’ah wa al Qadariyyah, Marwa Mekka : Dar al Baz, t.t, vol. I,
hal. 526. Seperti dikutup oleh M. Ali Khalidar, Op. Cit, hal. 68
[21]
Hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Semarang, Sumber Barokah, 1986,hal. 102,
seperti dikutip oleh M. Masyhur Amin, NU & Ijtihad Politik Kenegaraan,
Al amin Press, Yogyakarta : 1996, hal. 86-88.
[22]
Penyebutan ASWAJA sebagai madzhab dalam terminologi NU agaknya masih
diperdebatkan. Abdurrahman Wahid kurang sependapat jika ASWAJA disebut madzhab,
karena akan terjadi patadox; di satu sisi ia sebagai madzhab, namun pada sisi
lain karakteristik bahwa ber-NU atau beraswaja adalah bermadzhab fiqih, tauhid
dan bertasawuf adalah madzhab itu sendiri. Artinya jika madzhab mengikuti
madzhab berarti akan menimbulkan problem dan paradox. Lihat Abdurrahman Wahid
dalam makalah, Dilema Pendekatan Tarikh (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit,
hal. 180. Namun demikian penyebutan ASWAJA sebagai madzhab juga dapat
dibenarkan, karena bagaimanapun pada dasarnya ASWAJA memakai unsur manhaj (cara
berfikir) dan doktrin (manhajiyyan wa ‘aqidiyyah) yang dapat dibedakan dari
madzhab lain. Baca KH. Husein Muhammad, Op. Cit, hal.37.
[24]
Said Aqiel Siradj, Latar Kultur dan Politik Kelahiran ASWAJA (ed), Imam
Baehaqi, Op. Cit, hal. 3. Namun berbeda menurut KH. Bisri Musthofa yang
tidak mencantumkan al Ghazali dalam tokoh tasawuf dalam ASWAJA, baca KH. Bisri
Musthofa, Risalah Ahlussunnah wal jama’ah, Yayasan al Ibriz, Kudus :
Menara Kudus, 1967, hal. 19. Dikutip
dari Dhofier, Op. Cit.
hal 149. Untuk lebih jelasnya baca Qanun Asasi NU.
[25]
Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta
: LKiS, 1999, hal. 153-155
[26] Ulama (mufrd ; alim) berarti orang yang berilmu
atau sarjana. Karena itu ada ulama fiqih, ulama hadis, tafsir falak hisab,
wirid, tarekat dan sebagainya. Dalam terminology Bahasa Jawa, ulama
diistilahkan dengan Kiai, yaitu gelar kehormatan yang diberikan masyarakat
kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan
mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Di Jawa Barat ( Bahasa
Sunda) kiai disebut ajengan. Baca Dhofier, hal. 55
[27] A. Gaffar karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam
Indonesia, Yogyakarta : LkiS, 1995, hal. 45. Menurut Mitsuo
Nakamura, bahwa pada dasarnya struktur organisasi NU tidak bisa dilepaskan
tradisi sunni, yakni (a). Kepemimpinan spiritual ulama vis-vis umat, (b).
Solidaritas kolegaial antara para ulama. Baca Nakamura, Tradisionalisme
Radikal Catatn Muktamar Semarang 1979 (ed), hal. 67
[28]
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta : P3M,
1987, hal. 114. Baca pula Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit. hal. 55-60
[30]
Ahmad Siddiq, Oal-Fikrah al-Nahdliyah, Surabaya : POSSANU Jatim, hal.
26. baca Anam, Op. Cit, hal. 175
[33]
Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos,
Jakarta : 1999, hal. 11
http://ippnuancabkaliwungu.blogspot.co.id/2011/04/ahl-al-sunnah-wa-al-jamaah-sebagai.html
0 komentar:
Posting Komentar