Sabtu, 04 Februari 2017

hukum sholat jum'at dengan 2 dua adzan



HUKUM SHALAT JUM'AT DENGAN 2 (DUA) ADZAN

SHOLAT JUMAT  DENGAN DUA ADZAN

Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah - Cirebon

ŲØŲ³Ł… Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų§Ł„Ų±Ų­Ł…Ł† Ų§Ł„Ų±Ų­ŁŠŁ…
Ų§Ł„Ų­Ł…ŲÆ Ł„Ł„Ł‡ Ų±ŲØ Ų§Ł„Ų¹Ł„Ł…ŁŠŁ†, ŁˆŲØŁ‡ Ł†Ų³ŲŖŲ¹ŁŠŁ† Ų¹Ł„Ł‰ Ų£Ł…ŁˆŲ± Ų§Ł„ŲÆŁ†ŁŠŲ§ ŁˆŲ§Ł„ŲÆŁŠŁ†, ŁˆŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„Ł‰ Ų³ŁŠŲÆŁ†Ų§ Ł…Ų­Ł…ŲÆ ŁˆŲ¢Ł„Ł‡ ŲµŲ­ŲØŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… Ų£Ų¬Ł…Ų¹ŁŠŁ†. ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ų±Ų³ŁˆŁ„ Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… ŁŲ„Ł† Ų®ŁŠŲ± Ų§Ł„Ų­ŲÆŁŠŲ« ŁƒŲŖŲ§ŲØ Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŁˆŲ®ŁŠŲ± Ų§Ł„Ł‡ŲÆŁ‰ Ł‡ŲÆŁ‰ ‏ ‏Ł…Ų­Ł…ŲÆ ‏ŁˆŲ“Ų± Ų§Ł„Ų£Ł…ŁˆŲ± ‏ ‏Ł…Ų­ŲÆŲ«Ų§ŲŖŁ‡Ų§ ‏ ‏ŁˆŁƒŁ„ ŲØŲÆŲ¹Ų© Ų¶Ł„Ų§Ł„Ų© . Ų£Ł…Ų§ ŲØŲ¹ŲÆ

Pendahulan

Adanya 2 adzan dalam sholat jum’at adalah merupakan kesepakatan para ulama dari masa kemasa dimulai dari masanya Sayyidina Utsman bin Affan hingga hari ini sampai munculnya pendapat aneh yang bersebrangan dengan apa yang dijalankan oleh para ulama. Memang benar adzan jum’at pada zaman Nabi SAW dan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar adalah sekali yaitu disaat khotib duduk diatas mimbar. Akan tetapi pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan karena semakin banyaknya kaum muslimin maka beliau menganggap perlu untuk menambahkan adzan dari 1 adzan menjadi 2 adzan. Adzan yang pertama untuk mengingatkan kaum muslimin bahwasanya hari itu adalah hari jum’at agar bersiap-siap pergi ke masjid untuk melakukan sholat jum’at. Adapun adzan yang kedua adalah untuk menunjukan bahwa sholat jum’at akan segera dimulai. Dan hal seperti ini sudah menjadi kesepakatan para ulama dari masa kemasa dan tidak ada ingkar sama sekali dari para sahabat Nabi SAW.

Kisah penambahan adzan Sayyidina Utsman Bin Affan disebutkan oleh  Imam Bukhori dalam kitab shohihnya 
  1. Hadits yang diriwayatkan dari Sa’ib Ibn Yazid beliau berkata :

Ų¹Ł† Ų§Ł„Ų³Ų§Ų¦ŲØ ŲØŁ† ŁŠŲ²ŁŠŲÆ -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡- Ł‚Ų§Ł„: "ŁƒَŲ§Ł†َ Ų§Ł„Ł†ِّŲÆَŲ§Ų”ُ ŁŠَŁˆْŁ…َ Ų§Ł„ْŲ¬ُŁ…ُŲ¹َŲ©ِ Ų£َŁˆَّŁ„ُŁ‡ُ Ų„ِŲ°َŲ§ Ų¬َŁ„َŲ³َ Ų§Ł„Ų„ِŁ…َŲ§Ł…ُ Ų¹َŁ„َŁ‰ Ų§Ł„ْŁ…ِŁ†ْŲØَŲ±ِ Ų¹َŁ„َŁ‰ Ų¹َŁ‡ْŲÆِ Ų§Ł„Ł†َّŲØِŁŠِّ -ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł…- ŁˆَŲ£َŲØِŁŠ ŲØَŁƒْŲ±ٍ ŁˆَŲ¹ُŁ…َŲ±َ -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡Ł…Ų§- ŁَŁ„َŁ…َّŲ§ ŁƒَŲ§Ł†َ Ų¹ُŲ«ْŁ…َŲ§Ł†ُ -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡- ŁˆَŁƒَŲ«ُŲ±َ Ų§Ł„Ł†َّŲ§Ų³ُ Ų²َŲ§ŲÆَ Ų§Ł„Ł†ِّŲÆَŲ§Ų”َ Ų§Ł„Ų«َّŲ§Ł„ِŲ«َ Ų¹َŁ„َŁ‰ Ų§Ł„Ų²َّŁˆْŲ±َŲ§Ų”ِ" . Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ų§Ł„ŲØŲ®Ų§Ų±ŁŠ

Artinya (“Seruan adzan di hari jum’at mula-mula hanya di saat imam duduk di atas mimbar, hal ini terjadi pada zaman Nabi SAW dan zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan saat orang-orang semakin banyak maka Sayyidina Utsman menambahkan adzan yang ke tiga yaitu di zauro” )
HR Bukhori
Zauro’ adalah satu tempat yang suaranya bisa sampai ke pasar-pasar.

  1. Hadits yang di riwayatkan oleh Az-Zuhri beliau berkata :

Ų¹Ł† Ų§Ł„Ų²Ł‡Ų±ŁŠ Ł‚Ų§Ł„: Ų³Ł…Ų¹ŲŖ Ų§Ł„Ų³Ų§Ų¦ŲØ ŲØŁ† ŁŠŲ²ŁŠŲÆ -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡- ŁŠŁ‚ŁˆŁ„: "Ų„ِŁ†َّ Ų§Ł„Ų£َŲ°َŲ§Ł†َ ŁŠَŁˆْŁ…َ Ų§Ł„Ų¬ُŁ…ُŲ¹َŲ©ِ ŁƒَŲ§Ł†َ Ų£َŁˆَّŁ„ُŁ‡ُ Ų­ِŁŠŁ†َ ŁŠَŲ¬ْŁ„ِŲ³ُ Ų§Ł„Ų„ِŁ…َŲ§Ł…ُ ŁŠَŁˆْŁ…َ Ų§Ł„ْŲ¬ُŁ…ُŲ¹َŲ©ِ Ų¹َŁ„َŁ‰ Ų§Ł„Ł…ِŁ†ْŲØَŲ±ِ ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų±Ų³ŁˆŁ„ Ų§Ł„Ł„Ł‡ -ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ¢Ł„Ł‡ ŁˆŲ³Ł„Ł…- ŁˆŲ£ŲØŁŠ ŲØŁƒŲ± ŁˆŲ¹Ł…Ų± -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡Ł…Ų§-، ŁŁ„Ł…Ų§ ŁƒŲ§Ł† ŁŁŠ Ų®Ł„Ų§ŁŲ© Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡- ŁˆŁƒŲ«Ų±ŁˆŲ§ Ų£Ł…Ų± Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ų¬Ł…Ų¹Ų© ŲØŲ§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ų§Ł„Ų«Ų§Ł„Ų«، ŁŲ£Ų°Ł† ŲØŁ‡ Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ų²ŁˆŲ±Ų§Ų”، ŁŲ«ŲØŲŖ Ų§Ł„Ų£Ł…Ų± Ų¹Ł„Ł‰ Ų°Ł„Łƒ". Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ų§Ł„ŲØŲ®Ų§Ų±ŁŠ

Artinya : (“Dari Zuhri beliau berkata sesungguhnya aku mendengar Sa’ib Ibn Yazid berkata : Sesungguhnya adzan pada hari jum’at mula-mula diadakan saat imam duduk diatas mimbar pada hari jum’at pada zaman Nabi SAW, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada masa kekholifahan Sayyidina Utsman bin Affan saat kaum muslimin semakin banyak maka Sayyidina Utsman memerintahkan menambah satu adzan yakni adzan yang ketiga yang dikumandangkan di Zauro’, maka setelah itu seperti itulah ketetapan adzan di dalam sholat jum’at.” )

Imam Bukhori menyebut adzan yang ketiga karena secara istilah  iqomat juga disebut sebagai adzan seperti yang disabdakan Nabi SAW.
ŲØŁŠŁ† ŁƒŁ„ Ų£Ų°Ł†ŁŠŁ† Ł†Ų§ŁŁ„Ų© Ł„Ł…Ł† Ų“Ų§Ų”
Artinya:(Antara 2 adzan ada sholat sunnah yang sunnah untuk dilakukan bagi yang mau melakukan”).
Rasulullah menyebut adzan dan iqomat dengan istilah 2 adzan .

Yang bisa di fahami dari dua riwayat dari Imam Bukhori adalah  adzan dalam jum’at yang semula hanya ada 2 yakni adzan dan iqomat saja, kemudian ditambah oleh Sayyidina Utsman dengan 1 adzan, seperti disebutkan oleh Imam Bukhori dengan istilah adzan yang ketiga, maka adzan dalam jum’at adalah adzan pertama, adzan kedua dan iqomah.

Ibn Hajar Al-Asqolani di dalam Fathul Bari Juz 2 hal 394 berkata :
"ŁˆŲ§Ł„Ų°ŁŠ ŁŠŲøŁ‡Ų± Ų£Ł† Ų§Ł„Ł†Ų§Ų³ Ų£Ų®Ų°ŁˆŲ§ ŲØŁŲ¹Ł„ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† ŁŁŠ Ų¬Ł…ŁŠŲ¹ Ų§Ł„ŲØŁ„Ų§ŲÆ Ų„Ų° Ų°Ų§Łƒ؛ Ł„ŁƒŁˆŁ†Ł‡ Ų®Ł„ŁŠŁŲ©ً Ł…Ų·Ų§Ų¹َ Ų§Ł„Ų£Ł…Ų±"
“Yang bisa di fahami sesungguhnya orang-orang telah melakukan dengan apa yang dilakukan Sayyidina Utsman di setiap negeri pada waktu itu karena beliau adalah seorang kholifah yang harus dipatuhi perintahnya”.
Dan sungguh mematuhi Sayyidina Utsman adalah hakikat sunnah Nabi SAW seperti yang disabdakan Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Hibban dan Imam Hakim.

Ł…Ł† ŁŠŲ¹Ų“ Ł…Ł†ŁƒŁ… ŲØŲ¹ŲÆŁŠ ŁŲ³ŁŠŲ±ŁŠ Ų„Ų®ŲŖŁ„Ų§ŁŲ§ ŁƒŲ«ŁŠŲ±Ų§ ŁŲ¹Ł„ŁŠŁƒŁ… ŲØŲ³Ł†ŲŖŁŠ ŁˆŲ³Ł†Ų© Ų§Ł„Ų­Ł„ŁŲ§Ų” Ų§Ł„Ł…Ł‡ŲÆ ŁŠŁŠŁ† Ų§Ł„Ų±Ų§Ų“ŲÆŁŠŁ†  .

 “Siapapun yang hidup setelahku maka akan melihat perbedaan yang banyak, maka hendaknya kalian semua berpegang kepada sunnahku dan sunnah para Kholifah Ar-Rosyidin.”
  Dan itulah yang dipahami oleh para sahabat Nabi SAW sehingga pada zaman Sayyidina Utsman  2 adzan dalam sholat jum’at adalah merupakan Ijma atas kesepakatan para ulama dari masa Sayyidina Utsman bin Affan hingga hari ini. Hingga munculah pendapat yang berbeda yang seolah-olah mereka lebih tau tentang sunnah Nabi kemudian berani mengatakan jum’at dengan 2 adzan adalah bid’ah, maka pendapat seperti itu adalah pendapat yang tidak bisa dianggap sama sekali.  Artinya yang membid’ahkan 2 adzan adalah membid’ahkan para sahabat-sahabat Nabi yang mulia dan sungguh benar apa yang disabdakan Nabi SAW,

Ų„Ł† Ų£Ų®Ų± Ł‡Ų°Ł‡ Ų§Ł„Ų£Ł…Ų© ŁŠŁ„Ų¹Ł† Ų£ŁˆŁ„Ł‡Ų§ Ų£Ų®Ų±Ł‡Ų§ . Ų­ŲÆŁŠŲ« ŲµŲ­ŁŠŲ­   . Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ų§ŲØŁ† Ł…Ų§Ų¬Ł‡

 “Sesungguhnya umat akhir dari umat ini akan melaknat para pendahulu-pendahulunya”
Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majjah
Terbukti sabda Nabi SAW pada zaman akhir ini ada orang yang membid’ahkan para salaf dan para sahabat Nabi SAW.

Mungkin ada yang bertanya, Bukankah sholat jum’at sudah ada pada zaman Nabi SAW ? Akan tetapi kenapa pada zaman Nabi adzan hanya dikumandangkan sekali kemudian di saat datang Sayyidina Utsman menjadi 2 kali ? Jawabannya adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat Imam Bukhori di atas sebabnya adalah orang-orang semakin banyak pada zaman Sayyidina Utsman dan kota Madinah semakin melebar.
Dalam masalah ini sungguh tidak akan menjadi masalah bagi orang yang mengerti  sunnah Nabi dan bagaimana berpegang pada sunnah Nabi SAW. Dan sudah menjadi maklum bagi ulama  dari para sahabat Nabi bahwa berpegang kepada Khulafa Ar-Rosyidin adalah juga berpegang pada sunnah Nabi SAW.
 Dari itulah kenapa para sahabat Nabi SAW bersepakat mengikuti Sayyidina Utsman  padahal para sahabat Nabi juga banyak dari para ulama selain Sayyidina Utsman. Sungguh mereka tidak mengikuti sahabat Utsman kecuali karena benarnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman Bin Affan Ra.

Waktu Adzan yang Pertama dan Jarak Antara Adzan yang Pertama dan Kedua

Masalah jangka waktu antara adzan pertama dan kedua tidak ada ketentuannya, hanya dikira-kira sekedar  agar kaum muslimin bisa bergegas mempersiapkan sholat jum’at.
Adapun waktu adzan awal para ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan sebelum masuk waktu dhuhur sebagian lagi mengatakan setelah masuk waktu dhuhur. Dan perbedaan seperti ini bagi mereka para ulama sangat sederhana sebab intinya untuk mengingatkan orang-orang agar bersiap-siap dan bergegas pergi ke masjid .

Pendapat Ulama Saudi

Berikut ini kami akan menukil pendapat tokoh-tokoh dari Saudi yang sebetulnya kami tidak perlu mendatangkan pendapat-pendapat mereka karena dalam buku-buku kitab ahli sunnah wal jama’ah 4 madzhab sudah diterangkan dengan jelas dan gamblang tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa ulama telah bersepakat bahwa adzan dalam sholat jum’at adalah dengan 2 adzan.
Akan tetapi setelah munculnya fitnah pembid’ahan terhadap 2 adzan atau membid’ahkan adzan tambahan Sayyidina Utsman. Maka kami perlu untuk menghadirkan pendapat tokoh-tokoh dari Saudi agar orang-orang yang mengingkari 2 adzan tersebut bisa membaca. Karena kebanyakan dari mereka yang mengingkari 2 adzan  banyak berkiblat kepada para tokoh-tokoh dari Arab Saudi.  Dan dengan sengaja kami nukil dengan bahasa arabnya secara utuh barang kali ada sebagian pembaca yang mengerti bahasa arab agar bisa membacanya sendiri. Dan fatwa-fatwa tersebut juga kami nukil secara utuh tanpa kami kurangi sedikitpun

Yang pertama datang pertanyaan kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz  tentang kapan disyariatkannya 2 adzan dan bagaimana adzan tambahan yang bid’ah ini bisa terjadi di Saudi dan bagaimana orang Saudi melakukan bid’ah.
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz  menjawab dan jawaban ini juga dikeluarkan oleh lembaga fatwa terpercaya dikalangan mereka yaitu Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhust Al ‘Ilmiyah Wal Ifta’ dan juga Fatwa ini bisa di dapat dalam kumpulan risalah-risalah Syaikh Abdul Aziz Bin Baz  jilid 12.

Fatwa tersebut berbunyi  :

Ų«ŲØŲŖ Ų¹Ł† Ų±Ų³ŁˆŁ„ Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… Ų£Ł†Ł‡ Ł‚Ų§Ł„: "Ų¹Ł„ŁŠŁƒŁ… ŲØŲ³Ł†ŲŖŁŠ ŁˆŲ³Ł†Ų© Ų§Ł„Ų®Ł„ŁŲ§Ų” Ų§Ł„Ų±Ų§Ų“ŲÆŁŠŁ† Ų§Ł„Ł…Ł‡ŲÆŁŠŁŠŁ†، ŁŲŖŁ…Ų³ŁƒŁˆŲ§ ŲØŁ‡Ų§ ŁˆŲ¹Ų¶ŁˆŲ§ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ų§ ŲØŲ§Ł„Ł†ŁˆŲ§Ų¬Ų°" Ų§Ł„Ų­ŲÆŁŠŲ«، ŁˆŲ§Ł„Ł†ŲÆŲ§Ų” ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ų¬Ł…Ų¹Ų© ŁƒŲ§Ł† Ų£ŁˆŁ„Ł‡ Ų­ŁŠŁ† ŁŠŲ¬Ł„Ų³ Ų§Ł„Ų„Ł…Ų§Ł… Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ł…Ł†ŲØŲ± ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… ŁˆŲ£ŲØŁŠ ŲØŁƒŲ± ŁˆŲ¹Ł…Ų± Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡Ł…Ų§، ŁŁ„Ł…Ų§ ŁƒŲ§Ł†ŲŖ Ų®Ł„Ų§ŁŲ© Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† ŁˆŁƒŲ«Ų± Ų§Ł„Ł†Ų§Ų³ Ų£Ł…Ų± Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡ ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ų¬Ł…Ų¹Ų© ŲØŲ§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ų§Ł„Ų£ŁˆŁ„، ŁˆŁ„ŁŠŲ³ ŲØŲØŲÆŲ¹Ų© Ł„Ł…Ų§ Ų³ŲØŁ‚ Ł…Ł† Ų§Ł„Ų£Ł…Ų± ŲØŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų³Ł†Ų© Ų§Ł„Ų®Ł„ŁŲ§Ų” Ų§Ł„Ų±Ų§Ų“ŲÆŁŠŁ†، ŁˆŲ§Ł„Ų£ŲµŁ„ ŁŁŠ Ų°Ł„Łƒ Ł…Ų§ Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ų§Ł„ŲØŲ®Ų§Ų±ŁŠ ŁˆŲ§Ł„Ł†Ų³Ų§Ų¦ŁŠ ŁˆŲ§Ł„ŲŖŲ±Ł…Ų°ŁŠ ŁˆŲ§ŲØŁ† Ł…Ų§Ų¬Ų© ŁˆŲ£ŲØŁˆ ŲÆŲ§ŁˆŲÆ ŁˆŲ§Ł„Ł„ŁŲø Ł„Ł‡:
Ų¹Ł† Ų§ŲØŁ† Ų“Ł‡Ų§ŲØ Ų£Ų®ŲØŲ±Ł†ŁŠ Ų§Ł„Ų³Ų§Ų¦ŲØ ŲØŁ† ŁŠŲ²ŁŠŲÆ Ų£Ł† Ų§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† ŁƒŲ§Ł† Ų£ŁˆŁ„Ł‡ Ų­ŁŠŁ† ŁŠŲ¬Ł„Ų³ Ų§Ł„Ų„Ł…Ų§Ł… Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ł…Ł†ŲØŲ± ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ų¬Ł…Ų¹Ų© ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… ŁˆŲ£ŲØŁŠ ŲØŁƒŲ± ŁˆŲ¹Ł…Ų± Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡Ł…Ų§، ŁŁ„Ł…Ų§ ŁƒŲ§Ł† Ų®Ł„Ų§ŁŲ© Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† ŁˆŁƒŲ«Ų± Ų§Ł„Ł†Ų§Ų³ Ų£Ł…Ų± Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ų¬Ł…Ų¹Ų© ŲØŲ§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ų§Ł„Ų«Ų§Ł„Ų« ŁŲ£Ų°Ł† ŲØŁ‡ Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ų²ŁˆŲ±Ų§Ų” ŁŲ«ŲØŲŖ Ų§Ł„Ų£Ł…Ų± Ų¹Ł„Ł‰ Ų°Ł„Łƒ، ŁˆŁ‚ŲÆ Ų¹Ł„Ł‚ Ų§Ł„Ł‚Ų³Ų·Ł„Ų§Ł†ŁŠ ŁŁŠ Ų“Ų±Ų­Ł‡ Ł„Ł„ŲØŲ®Ų§Ų±ŁŠ Ų¹Ł„Ł‰ Ł‡Ų°Ų§ Ų§Ł„Ų­ŲÆŁŠŲ« ŲØŲ£Ł† Ų§Ł„Ł†ŲÆŲ§Ų” Ų§Ł„Ų°ŁŠ Ų²Ų§ŲÆŁ‡ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† Ł‡Łˆ Ų¹Ł†ŲÆ ŲÆŲ®ŁˆŁ„ Ų§Ł„ŁˆŁ‚ŲŖ، Ų³Ł…َّŲ§Ł‡ Ų«Ų§Ł„Ų«Ų§ً ŲØŲ§Ų¹ŲŖŲØŲ§Ų± ŁƒŁˆŁ†Ł‡ Ł…Ų²ŁŠŲÆŲ§ً Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† ŲØŁŠŁ† ŁŠŲÆŁŠ Ų§Ł„Ų„Ł…Ų§Ł… ŁˆŲ§Ł„Ų„Ł‚Ų§Ł…Ų© Ł„Ł„ŲµŁ„Ų§Ų©، ŁˆŲ£Ų·Ł„Ł‚ Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ų„Ł‚Ų§Ł…Ų© Ų£Ų°Ų§Ł†Ų§ً ŲŖŲŗŁ„ŁŠŲØŲ§ً ŲØŲ¬Ų§Ł…Ų¹ Ų§Ł„Ų„Ų¹Ł„Ų§Ł… ŁŁŠŁ‡Ł…Ų§، ŁˆŁƒŲ§Ł† Ł‡Ų°Ų§ Ų§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ł„Ł…Ų§ ŁƒŲ«Ų± Ų§Ł„Ł…Ų³Ł„Ł…ŁˆŁ† ŁŲ²Ų§ŲÆŁ‡ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡ Ų§Ų¬ŲŖŁ‡Ų§ŲÆŲ§ً Ł…Ł†Ł‡، ŁˆŁˆŲ§ŁŁ‚Ł‡ Ų³Ų§Ų¦Ų± Ų§Ł„ŲµŲ­Ų§ŲØŲ© ŲØŲ§Ł„Ų³ŁƒŁˆŲŖ ŁˆŲ¹ŲÆŁ… Ų§Ł„Ų„Ł†ŁƒŲ§Ų±، ŁŲµŲ§Ų± Ų„Ų¬Ł…Ų§Ų¹Ų§ Ų³ŁƒŁˆŲŖŁŠŲ§ً

Artinya;(”Telah benar riwayat dari Rosululloh SAW sesungguhnya Rosululloh bersabda : “Hendaknya engkau berpegang dengan sunnah ku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Maka  berpeganglah dengan sunnah tersebut dengan sungguh-sungguh.
Seruan adzan jum’at mula-mula diadakan saat imam duduk di atas mimbar pada zaman Nabi SAW, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada  zaman Sayyidina Utsman bin Affan kaum muslimin semakin banyak. Maka Sayyidina Utsman memerintahkan menambah adzan yang pertama dalam sholat jum’at dan ini bukanlah BID’AH seperti yang telah disebutkan yaitu adanya perintah dari Nabi untuk mengikuti sunnah para Khulafa Ar-Rosyidin.
Dan landasan permasalahan ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi dan Imam Abu Dawud . (Dan lafadz hadits ini diambil dari Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab beliau berkata : Telah memberikan kabar kepadaku Sa’ib ibn Yazid : sesungguhnya adzan itu mula-mula adalah pada saat imam duduk di mimbar pada hari jum’at pada zaman Nabi Saw, zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan zaman Sayyidina Umar bin Khotob. Pada masa kekholifahan Sayyidina Utsman tatkala orang-orang semakin banyak Sayyidina Utsman memerintahkan pada hari jum’at agar diadakan adzan yang ke 3 yang kemudian dikumandangkan adzan di Zauro’. Dan setelah itu menjadi tetap lah permasalahan ini seperti itu.
Imam Asqotolani mengomentari hadits ini dalam Syarah Bukhorinya : “Sesungguhnya adzan yang diadakan Sayyidina Utsman  saat masuknya waktu diberi nama dengan adzan ketiga karena dianggap sebagai tambahan dari adzan dihadapan imam (diatas mimbar) dan iqomah untuk sholat. Iqomah di dalam sholat juga di sebut dengan istilah adzan.
Dan adzan (tambahan) ini ditambakan oleh Sayyidina Utsman saat kaum muslimin menjadi banyak, hal seperti ini merupakan Ijtihad dari beliau, dan ijtihad ini disetujui para sahabat Nabi SAW tanpa ada ingkar sama sekali dari mereka. Maka hal semacam ini sudah menjadi Ijma atau kesepakatan (Ijma Sukuti).”)

Yang kedua Fatwa Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti’ juz 6 hal 162
Teks Fatwa tersebut sebagai berikut  :

ŁˆŁ„ŁƒŁ† ŁŠŲ¬ŲØ Ų£Ł† Ł†Ų¹Ł„Ł… Ų£Ł†ّ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† Ł€ Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡ Ł€ Ų£Ų­ŲÆ Ų§Ł„Ų®Ł„ŁŲ§Ų” Ų§Ł„Ų±Ų§Ų“ŲÆŁŠŁ† Ų§Ł„Ų°ŁŠŁ† Ų£Ł…Ų±Ł†Ų§ ŲØŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹ Ų³Ł†ŲŖŁ‡Ł…، ŁŲ„Ł† Ł„Ł… ŲŖŲ±ŲÆ Ų¹Ł† Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ… Ų³Ł†Ų© ŲŖŲÆŁŲ¹ Ł…Ų§ Ų³Ł†Ł‡ Ų§Ł„Ų®Ł„ŁŲ§Ų”، ŁŲ³Ł†Ų© Ų§Ł„Ų®Ł„ŁŲ§Ų” Ų“Ų±Ų¹ Ł…ŲŖŲØŲ¹، ŁˆŲØŁ‡Ų°Ų§ Ł†Ų¹Ų±Ł Ų£Ł† Ų§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ų§Ł„Ų£ŁˆŁ„ ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ų¬Ł…Ų¹Ų© Ų³Ł†Ų© ŲØŲ„Ų«ŲØŲ§ŲŖ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ… Ų°Ł„Łƒ ŲØŁ‚ŁˆŁ„Ł‡: «Ų¹Ł„ŁŠŁƒŁ… ŲØŲ³Ł†ŲŖŁŠ ŁˆŲ³Ł†Ų© Ų§Ł„Ų®Ł„ŁŲ§Ų” Ų§Ł„Ų±Ų§Ų“ŲÆŁŠŁ†» ، Ų£Ł…Ų§ Ł…Ł† Ų£Ł†ŁƒŲ±Ł‡ Ł…Ł† Ų§Ł„Ł…ُŲ­ŲÆَŲ«ŁŠŁ†، ŁˆŁ‚Ų§Ł„: Ų„Ł†Ł‡ ŲØŲÆŲ¹Ų© ŁˆŲ¶Ł„Ł„ ŲØŁ‡ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† Ł€ Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡ Ł€ ŁŁ‡Łˆ Ų§Ł„Ų¶Ų§Ł„ Ų§Ł„Ł…ŲØŲŖŲÆŲ¹؛
Ł„Ų£Ł† Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡ Ų³Ł†َّ Ų§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ų§Ł„Ų£ŁˆŁ„ ŲØŲ³ŲØŲØ Ł„Ł… ŁŠŁˆŲ¬ŲÆ ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ…، ŁˆŁ„Łˆ ŁˆŲ¬ŲÆ Ų³ŲØŲØŁ‡ ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų§Ł„Ų±Ų³ŁˆŁ„ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ… ŁˆŁ„Ł… ŁŠŁŲ¹Ł„Ł‡ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ… Ł„Ł‚Ł„Ł†Ų§: Ų„Ł† Ł…Ų§ ŁŲ¹Ł„Ł‡ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡- Ł…Ų±ŲÆŁˆŲÆ؛ Ł„Ų£Ł† Ų§Ł„Ų³ŲØŲØ ŁˆŲ¬ŲÆ ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ… ŁˆŁ„Ł… ŁŠŲ³Ł† Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ ŲµŁ„ّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„ّŁ… ŁŁŠŁ‡ Ų“ŁŠŲ¦Ų§ً، Ų£Ł…Ų§ Ł…Ų§ Ł„Ł… ŁŠŁˆŲ¬ŲÆ ŁŁŠ Ų¹Ł‡ŲÆ Ų§Ł„Ų±Ų³ŁˆŁ„ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ Ų§Ł„ŲµŁ„Ų§Ų© ŁˆŲ§Ł„Ų³Ł„Ų§Ł… Ų§Ł„Ų³ŲØŲØ Ų§Ł„Ų°ŁŠ Ł…Ł† Ų£Ų¬Ł„Ł‡ Ų³Ł†َّ Ų¹Ų«Ł…Ų§Ł† -Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡- Ų§Ł„Ų£Ų°Ų§Ł† Ų§Ł„Ų£ŁˆŁ„ ŁŲ„Ł† Ų³Ł†ŲŖَŁ‡ُ Ų³Ł†Ų©ٌ Ł…ŲŖŲØŲ¹Ų©ٌ، ŁˆŁ†Ų­Ł† Ł…Ų£Ł…ŁˆŲ±ŁˆŁ† ŲØŲ§ŲŖŲØŲ§Ų¹Ł‡Ų§

Artinya;(“Akan tetapi wajib untuk kita mengetahuinya bahwa sesungguhnya Sayyidina Utsman bin Affan adalah salah satu dari Khulafa Ar-Rosyidin yaitu orang-orang yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah mereka.
Jika tidak ada riwayat dari Nabi SAW satu sunnah yang menolak (bertentangan) dengan sunnah para Khulafah, maka menjadi pasti sunnah para khulafah tersebut adalah Syariat yang harus di ikuti.

Atas dasar inilah kita bisa mengetahui sesungguhnya adzan yang pertama pada hari jum’at adalah sunnah dengan pengukuhan dari Nabi SAW di dalam sabdanya : “Hendaknya engkau berpegang pada sunnah ku dan sunnah para Khulafa  Ar-Rosyidin”
Adapun orang yang mengingkari dari orang-orang baru (akhir zaman) yang mengatakan adzan ini adalah bid’ah kemudian mengatakan Sayyidina Utsman adalah bid’ah, sesungguhnya mereka sendirilah ORANG-ORANG YANG SESAT DAN AHLI BID’AH. Sebab sesungguhnya Sayyidina Utsman mengadakan adzan yang pertama karena sebab yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Seandainya sebab yang ada pada zaman Sayyidina Utsman  juga ada pada zaman Nabi kemudian Nabi tidak melakukannya tetapi Sayyidina Utsman melakukannya niscaya kami akan sependapat dengan mereka dan apa yang dilakukan Sayyidina Utsman harus ditolak. Adapun sebab yang tidak ada pada zaman Nabi kemudian adanya pada zaman Sayyidina Utsman dan Sayyidina Utsman melakukan atas dasar sebab tersebut seperti adzan yang pertama ini maka sesungguhnya itulah sunnah yang di ikuti dan kita pun diperintahkan untuk mengikutinya”.)

Kesimpulan

Kaum muslimin dan muslimat ini adalah sekelumit dari pencerahan untuk menghindarkan dari fitnah-fitnah yang ada di masjid-masjid masyarakat kita. Dan mari kita semua kembali kepada sunnah Khulafa Ar-Rosyidin dengan mempertahankan  adzan jum’at dengan 2 adzan dan bagi masjid yang adzannya hanya ada satu kali kita kembalikan menjadi 2 adzan yang itu semua adalah demi kepatuhan kita kepada ulama, Khulafa Ar-Rosyidin dan kepada Rosululloh SAW.
Dan bisa disimpulkan sebagai berikut :
  1. Adzan jum’at dengan 2 adzan adalah kesepakatan para sahabat Nabi dan para ulama dari masa kemasa
  2. Munculnya pendapat yang berbeda dengan ini yaitu pendapat yang membid’ahkan sholat jum’at dengan 2 adzan adalah pendapat yang aneh dan hanya menimbulkan fitnah di tengah masyarakat
  3. Mari kita membaca ilmu dengan penuh keinsyafanSemoga Allah SWT memberikan hidayah kepada kita semua .
 Wallahu a’lam Bish-showab

HUKUM SHALAT JUM'AT DENGAN DUA ADZANHUKUM SHALAT JUM'AT DENGAN DUA ADZAN
Adzan Jum’at Dua Kali
Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum’at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :


Dari Sa’ib ia berkata, “Saya mendengar dari Sa’ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)“. ( Shahih al-Bukhari: 865)
Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu’in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :
“Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum’at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya”. (Fath al-Mu’in: 15)
Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :


“Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma’ sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)
Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:


“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun sesudah aku “. (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu a’lam bis-shawab.

H.M.Cholil Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

 

A    Mukaddimah

Sebagai organisasi sosial keagamaan yang dibentuk oleh kalangan ulama tradisional, NU selalu diidentikkan dengan Islam tradisional yang pada umumnya dianggap lebih terbelakang dan cenderung mapan dalam pemahaman mengenai masyarakat maupun pemikiran Islam.   Dalam tradisi pemikiran Islam, keteguhan NU dalam memegang hukum Islam ortodoks dan ketatnya  mengikuti teologi  skolastisismenya al-Asy’ari dan al-Maturidi dianggap menjadikan NU jumud dan menolak modernisme dan pendekatan rasional dalam pemikiran keagamaan dan berpandangan fatalistik.[1] Karenanya,  NU dianggap berpandangan  konservatif  yang menolak segala perubahan atau modernisme.[2] Bahkan Geert menggolongkannya sebagai Islam “kolotan” karena penerimannya terhadap  elemen-elemen sinkretis yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.[3] Terutama dalam ajaran taswufnya yang dianggapnya seringkali tergelincir ke dalam praktek-praktek syirik karena menghubung-hubungkan Tuhan dengan makhluk-makhluk atau benda-   benda. [4]
Pernyataan di atas agaknya perlu dikritisi, karena di samping tradisi pemikiran Islam yang dikembangkan NU tidak seperti yang disebutkan di atas, juga anggapan bahwa NU adalah koservatif, kolot dan tradisional karena diidentikkan dengan Islam tradisional perlu dibuktikan kembali, di samping jelas pernyataan tersebut bernada kurang obyektif. Karena tidak jelas apa yang dimaksudkan dalam pernyataan-pernyataan itu.
Pada dasarnya pengertian tradisi tidak selalu berkonotasi negatif. Menurut Edward Shills, seperti dikutip oleh Sahal Mahfudz, terminologi tradisi berarti sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan masa lalu, atau dengan kata lain, segala sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Namun pengertian tersebut masih belum cukup untuk suatu analisis, karena belum terungkapnya segala sesuatu yang kaitannya dengan pengertian tradisi ; apa yang diwariskan itu dan bagaimana penyampaiannnya serta sudah berapa lama ‘tradisi ‘ tersebut diwarisi. Dalam pengertian lain, seperti dalam The New Encylopaedia Britannica, tradisi adalah kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan serta berbagai praktek yang menyebabkan kelestarian suatu kebudayaan atau kelompok sosial, yang oleh karena itu ia mampu membentuk pandangan hidupnya. [5] Oleh karena itu term tradisi mengisyaratkan sesuatu yang sakral dan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung, prinsip-prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi, ruang dan waktu. [6]
Sementara itu pemahaman Islam tradisional juga tidak berarti Islam yang sarat dengan khurafat, tahayul dan bid’ah, atau dengan kata lain Islam yang mengadopsi budaya-budaya lokal yang tidak bersumber dari al-Qurān dan al-Hadis.  Tetapi Islam tradisional, seperti dalam pandangan Seyyed Hosein Nasr, adalah Islam yang konsekuen dan komitmen  dengan  ajaran Islam yang asli. Karena Islam tradisional menerima al-Qurān dan al-Hadis sebagai dua sumber yang diyakini kebenarannya dan mutlak kebenarannya. Demikian pula Islam Tradisional mempertahankan syari’ah sebagai hukum Ilahi,  sebagaimana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan sebagaimana ia dikristalkan dalam mazhab-mazhab klasik hukum. Namun demikian, Islam tradisional menerima kemungkinan pandangan-pandangan segar berdasarkan prinsip-prinsip legal (ijtihad), dan juga memanfaatkan alat-alat penerapan hukum lain ke dalam situasi-situasi yang baru muncul namun selalu selaras dengan prinsip-prisip legal tradisional seperti qiyas, ijma’ dan istihsan. Dengan kata lain, dalam Islam tradisional seluruh moralitas diturunkan dari al-Qurān, al-Hadis dan dalam tatanan dan aturan syari’ah benar. [7]
Dalam konteks ini, NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki tradisi dan sistem nilai yang dianut dan dipegang kuat serta diyakini kebenarannya. Karena itu,  sistem nilai inilah pada dasarnya yang membentuk karakter  dan identitas tersendiri bagi NU.
Adapun sistem nilai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip ajaran, tuntunan atau haluan bagi praktek-praktek keagamaan maupun sosial kemasyarakatan yang berlaku di lingkungan NU dan dipandang dari sudut dogmatis. [8]  Dalam hal ini, paham Ahlussunnah wa al-Jamā’ah dengan segala ajaran-ajarannya menjadi sistem nilai yang menjadi acuan dasar serta pandangan yang bersifat ideologis bagi NU.

B. Faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
1.      ASWAJA ; sejarah dan pertumbuhannya.
Jika dilihat dari latar belakang lahirnya, maka faham ASWAJA merupakan jalan tengah di antara aliran-aliran teologi yang berkembang saat itu. Kecenderungan yang berlebihan dalam menggunakan akal dan kebebasan perbuatan manusia (free will dan free act) serta sikap  fatalism atau predesnation telah mengantarkan umat manusia pada kekerasan dan penindasan di satu sisi, dan kemunduran dan ketidak- berdayaan terhadap realitas kehidupan di sisi lain. Kondisi demikian akan semakin parah ketika perbedaan faham di atas dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu. Akibatnya berbagai fitnah menyebar dan korban berjatuhan atas nama “agama”.
Dalam konteks itulah, ASWAJA berusaha mengembalikan kemurnian agama Islam dan berupaya mempersatukan kembali umat Islam yang tercerai berai.  Melalui konsep sunnahnya, ASWAJA mengidentikkan diri sebagai ajaran yang mengikuti dan mengamalkan Hadis Nabi Muhammad SAW.  Al Sam’ani (w. 1166) mengidentikkan  al-sunnah  sebagai lawan dari bid’ah (penyimpangan) yang terjadi dan marak di   mana-mana.[9]  Sedangkan Jalal Muhammad Musa mengartikan sunnah yang dimaksud dengan metode atau thariqah, yaitu mengikuti metode para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada Allah sendiri, tidak mereka-reka menurut daya nalar manusia semata-mata.[10]
Adapun konsep jamā’ah yang dimaksud dalam ASWAJA adalah memiliki beberapa pengertian. Dalam hal ini al-Syathibi menyebutkan lima definisi, pertama, mayoritas kaum muslimin (am,al-aswad al ‘az). Kedua,  para ulama mujtahid. Ketiga, para sahabat Nabi. Keempat, kesepakatan orang Islam. Dan kelima, golongan kaum muslimin dengan satu pemimipin. [11]
Dalam sejarah Islam, jauh sebelum munculnya Al-Asy’ari dengan konsep ASWAJA nya, telah terjadi pergolakan besar yang terjadi pada permulaan Islam, sebuah pertikaian antar kaum muslimin yang menjadi titik sejarah munculnya kelompok-kelompok kaum muslimin, dua orang sahabat Nabi SAW; Abdullah bin Abbas (w. 67 H) dan Abdullah bin Umar (w. 74), mengungkapkan sikap tentang perlunya mengembangkan solidaritas dan persatuan umat. Keduanya dengan serius mulai melakukan kajian-kajian terhadap al-Sunnah sebagai jalan memahami agama dengan benar dan mendalam. Pandangan-pandangan kedua tokoh tersebut di  kemudian hari akan menjadi corak pemikiran ASWAJA. [12]
Sikap moderat kedua tokoh di atas selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar Hasan al-Basri (642 M/ 21 H). Bahkan dia lah orang yang pertama memformulasikan solusi sunni mengenai krisis pada tahun 656-661, khususnya semangatnya yang berkewajiban untuk tidak memecah belah umat dan penerimaannya terhadap Khulafaurrasyidin dan Bani Umayah sebagai pemerintah yang sah. [13]
Pada perkembangan sejarah pemikiran Islam berikutnya, term Ahlusunnah wa al- Jama’ah, menjadi lebih popular setelah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/ 936 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 994 M), mengajukan gagasan  kalamnya sebagai antitesis terhadap pikiran-pikiran Mu’tazilah yang sebelumnya mengalami masa-masa kejayaan, terutama di zaman khalifah-khalifah Bani ‘Abbas al Ma’mun dan al Wasiq (813 M-847 M ), dan mencapai puncaknya ketika Khalifah al Ma’mun di tahun 827 M menjadikan faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang di anut negara. [14]
            Namun pada tahun 1063 M, di mana Perdana Menteri Dinasti dipegang oleh Nizam al-Mulk, pemikiran-pemikiran ASWAJA mendapat tempat di mata masyarakat, dari kecenderungan berfikir rasional ‘ala Mu’tazilah kepada berfikir tradisional, dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, didirikan sekolah-sekolah yang diberi nama amiah,al-Niz, dan di antaranya di Bagdad di mana al-Ghazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah inilah diajarkan teologi Asy’ariyah. Pembesar-pembesar negara juga menganut aliran Asy’ariyah. Dengan demikian faham Asy’ariyah sejak itu mulai tersebar luas bukan hanya di daerah kekuasaan Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya. [15]

2.   ASWAJA  ;  sebagai sebuah sistem nilai NU.
Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham ASWAJA dengan mempertahankan, melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara eksplisit,  tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut :
”Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.” [16]
Dalam anggaran dasar tersebut selanjutnya disebutkan bahwa: ” Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengajar, soepaja diketahoei pakah itoe daripada kitab-kitab Ahlussunnah wal Djama’ah atoe kitab-kitab ahli bid’ah.” [17]
Dalam anggaran dasar di atas, tampak jelas NU  menekankan upaya melindungi Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum pembaharu. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus diamankan terlebih dahulu dari gagasan-gagasan kaum pembaharu. Dalam kenyataannya NU memiliki sebuah badan sensor yang memutuskan kitab-kitab mana yang diangap mu’tabar, yakni aman dibaca. Pada muktamar NU pertama menghasikan kesepakatan perlunya seleksi atas fatwa-fatwa yang berbeda, di samping seleksi atas kitab-kitab mazֹhab Syafi’i  itu sendiri.
Dalam beberapa kali muktamar, antara lain tahun 1961 dan 1979 telah terjadi perubahan anggaran dasar, namun secara subtansial  pada dasarnya angaran dasar NU tidak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam anggaran dasar tahun 1961, misalnya, tidak disebutkan secara eksplisit Ahlussunnah wa al-Jama’ah, namun dalam bagian tujuan NU  disebutkan bahwa tujuan NU adalah menegakkan syari’at Islam dengan haluan salah satu dari mazhab  empat. Dalam muktamar NU XXVI di Semarang tahun 1979, disebutkan pula tujuan NU seperti dalam muktamar sebelumnya. Selanjutnya tahun 1984 dalam Muktamar NU ke XXVII di Situbondo menetapkan bahwa faham Ahlussunnah wa al-Jamā’ah sebagai landasan akidah bagi NU;
” Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali”.[18]
Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan keagamaan NU.
Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Namun demikian, ASWAJA yang dikembangkan oleh NU berbeda dengan yang dikembangkan oleh kalangan pembaharu yang juga mengkliam sebagai penganut ASWAJA dan menobatkan dirinya sebagai pembela Islam puritan (murni) yang kembali kepada al-Qurān dan al-Hadis serta menolak taklidisme (pembekuan). Dapat dilihat dari pernyataan pembaharu ; Ibnu Taymiyyah, tentang mazhab Ahlussunnah wa al-Jama’ah;
”Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan mazhab yang telah lama. Disebutkan Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan Ahmad ibn Hanbal (pengikut mazhab ini). Madzhab tersebut merupakan madzhab sahabat yang mereka terima dari nabi  mereka. Siapa yang menyimpang dari madzhab tersebut dia pembid’ah, menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka sepakat bahwa ijma’ sahabat sebagai hujjah, dan mereka berselisih faham tentang ijma’ sesudah mereka.” [19]
Akan tetapi klaim di atas, pada sisi lain, justru memunculkan reaksi keras dari kelompok Islam tradisional. Bagi NU, paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah bukanlah sosok Islam puritan dan ekstrimisme, tetapi paham yang menekankan keseimbangan pada dalil naqliyah dan aqliyah. Ekstrimisme rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Demikian pula ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemas,lahatan atau kemafsadatan yang dipertimbangkan secara matang. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.[20]
Oleh karena itu, paham ASWAJA tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan bagi NU :
Pertama, tawasuth dan i’tidal, yakni sikap tengah yang berintikan kepada prinsip menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini, NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
Kedua, sikap tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan,  terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi khilāfiyyah, maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga, sikap tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT , khidmat kepada sesama manusia serta khidmat kepada lingkungannya. Menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
Keempat, prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yakni segenap warga NU diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfa’at bagi kehidupan bersama, serta mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[21]

3.      ASWAJA ; sebagai sebuah tradisi pemikiran NU.
Di lihat dari latar belakang kelahirannya,  paham ASWAJA sebenarnya lebih merupakan sebuah madzhab dalam akidah. [22]  Karena kemunculannya adalah bagian dari salah satu madzhab teologi yang ada ketika itu. Olah karena itu, pada dasarnya ASWAJA adalah gerakan pemikiran yang menekankan kemurnian agama Islam, persatuan kaum muslimin dan keseimbangan yang harmonis antara aspek normativitas dan aspek historisitas.
Sebagai mazhab pemikiran, ASWAJA memiliki corak  tersendiri yang membedakan dengan pemikiran madzhab lain.
Pertama, al-iqtisadl wa al-tawassuth, yakni sikap moderat yang menengahi antara dua pikiran yang ekstrim; antara Qadariyyah (freewillisme) dan Jabariyah  (fatalisme), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.
Kedua, watak pemikiran ASWAJA adalah toleran (tasamuh) terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan ASWAJA memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Sebuah wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam bidang pemikiran, ASWAJA tidak hanya sangat responsif terhadap berbagai pemikiran mazׂhab yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat, seperti madzhab empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150  H/ 767 M), Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M), Imam Mumahhad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H/ 820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 855 M), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti Imam Daud al-Dhahiri (w. 270 H/ 884 M), Imam Abdurrahman al-‘Auzai’ (w. 157 H/ 774 M), Imam Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/ 778 M) dan lain-lain.
Dalam diskursus sosial budaya, ASWAJA banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam ASWAJA tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu tidak mengherankan jika tradisi ASWAJA yang dikembangkan NU terkesan wajah syi’ah atau bahkan juga Hinduisme
Sikap toleran ASWAJA yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralisme pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Dan ini akan mengantarkannya pada visi kehidupan dunia yang rahmatan lil ‘alamin  di bawah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. [23]
Dalam tradisi pemikiran NU, pemikriran madzhab ASWAJA diformulasikan dalam tiga hal :
Pertama, dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Namun dalam prakteknya mayoritas kalangan di NU adalah penganut setia madzhab Syafi’i.
Kedua, dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan    al Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi.
Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim al-Junaedi al -Bagdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. [24]
Ketiga pemikiran keagamaan di atas bagi NU merupakan tradisi ilmu keagamaan yang masing-masing memiliki pertautan organis antara ketiganya secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Pertautan kedua dimensi dalam kehidupan itu merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk dapat menghadapi tantangan sekularisme dan modernisme. [25]

4.  ASWAJA ; sebagai sebuah tradisi kepemimpinan ulama.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa NU memiliki karakteristik tersendiri dari organisasi lain. Salah satu di antara itu adalah otoritas dan kepemimpinan    ulama.[26] Dalam lingkungan NU, ulama memiliki posisi yang sangat strategis, di samping karena pengaruh tradisi keagamaan yang dikembangkan,  yakni paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang mengharuskan penghormatan dan otoritas ulama, juga pemilihan nama organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) menggambarkan posisi sentral ulama dalam NU. [27]
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, ulama memiliki multi fungsi. Satu saat ia berfungsi sebagai dinamisator  masyarakat, namun pada saat yang sama ia berperan sebagai stabilisator.  Dengan dilatar belakangi oleh misi Islamisasi dan membentengi umat dari ancaman sekularisasi, ulama terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik di masa penjajahan dan kemerdekaan di satu sisi, serta mempertahankan kebudayaan Islam dan homogenitas masyarakat di sisi lain. Kecuali itu, peran utama ulama tetap dipertahankan, yaitu sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan itu sendiri melalui pengajaran ilmu-ilmu agama. [28]
Namun demikian tidak berarti seorang yang ahli suatu ilmu agama Islam disebut ulama. Dalam tardisi NU, seseorang baru disebut ulama jika ia memiliki kedalaman  ilmu agama dan pernah menempuh jalur pendidikan (mengaji) di pesantren.[29]  Oleh karena itu, dalam menetapkan atau memberikan gelar ulama, NU memberikan kriteria sebagai berikut :
Pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ulama adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Fathir       ayat 28.
Kedua, seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi missi (risalah) Rasulullah meliputi: ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya. Para ulama adalah pewaris Nabi.
Ketiga, seseorang disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti: tekun beribadat (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akherat (ilmu agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemashlahatan umat (peka terhadap kepentingan umum) dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dilambari niat yang baik dalam berilmu maupun beramal. [30]
Kedudukan ulama yang sentral di atas, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang berkembang di masyarakat juga. Pada mulanya, paham keulamaan itu hanya berlaku di kalangan pesantren dan masyarakat sekelilingnya. Tata hubungan antara santri dengan kiai dan anggota masyarakat dengan pesantren, penuh simbol kesopanan yang pada dasarnya pengakuan terhadap kepemimpinan dan otoritas ulama. Namun dengan lahirnya NU, paham keulamaan ini semakin menampakkan bentuknya dalam formulasi yang cukup jelas. Penempatan Lembaga Syuriyah pada struktur paling atas dalam kepengurusan NU merupakan bukti perwujudan paham keulamaan tersebut.
Secara formal keharusan mengakui kedudukan dan otoritas ulama tertulis dalam  AD-ART NU Pasal 7, ayat 1-2 :
”Kepengurusan NU terdiri dari Syuriyyah dan Tanfidiyyah. Syuriyah merupakan pimpinan tertinggi NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tanfidiyyah merupakan pelaksana sehari-hari ”. [31]
Selain itu, pengurus Syuriyyah yang terdiri dari para ulama atau kiai, mempunyai hak veto dalam tugasnya sebagai pengawas organsisasi. Hal veto itu dicantumkan secara jelas dalam ART-NU :
” Dalam rangka pembinaan, pembimbingan dan pengawasan, maka Syuriyyah berkewajiban setiap saat memberikan teguran, saran dan bimbingan kepada seluruh perangkat organisasi.
Apabila suatu keputusan atau kebijaksanaan suatu perangkat organisasi dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Syuriyyah berhak membatalkan. Dan pembatalan tersebut diambil dalam suatu rapat pengurus Syuriyah lengkap”. [32]
 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya jami’yyah NU adalah jam’iyyah-nya para  ulama. Peranan ulama di dalam NU tidak sekedar pemimpin tertinggi, melainkan juga pengawas, pembimbing, pembina dan penegur apabila ada penyimpangan.
Peranan seperti itu, tentu saja banyak berpengaruh dalam kebebasan berorganisasi yang telah diatur oleh Anggaran Dasar. Misalnya dalam soal pemilihan ketua tanfidiyyah yang seharusnya dipilih secara bebas oleh muktamar, sedikit banyak akan terwarnai oleh otoritas ulama. Dengan kata lain, betapapun hebatnya seorang calon pemimpin tanfidiyyah, tanpa mendapat legitimasi dari ulama, sulit dapat diterima.
Oleh karena itu, besarnya independensi dan otonomi ulama dengan pesantrennya tidak jarang membuat NU mengalami hambatan dalam melakukan konsolidasi. Dengan semua kekuatan  kultural yang dimilikinya, kiai dan pesantren bagaikan wilayah yang terpisah dari jaringan kepemimpinan NU yang tunduk pada hirarkhi otoritas keorganisasian.
Di satu sisi, kiai dan pesantren merupakan bagian dari warga NU yang terikat oleh seperangakat peraturan organisasi, dalam arti bahwa semua sikap dan tindakan yang memerlukan keselarasan irama harus berada di bawah koordinasi organisasi. Namun di sisi lain, pola hubungan mereka dengan masyarakat dan warga NU yang berproses secara mandiri dan berpijak pada kebesaran kharismanya menyebabkan munculnya kesulitan mengefektifkan jalur koordinasi yang ada dalam NU. [33]

C. Khulashah
Dalam pandangan penulis, untuk memperoleh potret NU dengan sesungguhnya belumlah cukup hanya melaui kajian historis saja, tetapi kajian terhadap sistem nilai dan tradisi yang berlaku di lingkungan NU justru akan lebih membantu  dalam melihat NU secara komprehensif. Karena pada dasarnya apa dan mengapa NU ada dan bersikap,  tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai dan tradisi pemikiran yang berlaku di NU; yaitu keteguhannya untuk mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan paham Islam ‘ala Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Demikian pula tradisi kepemimpinan ulama yang berlaku di lingkungan NU juga banyak menentukan perilaku dan keputusan di NU. 











* Makalah disampaikan pada acara Latihan Kader Muda (LAKMUD) X PAC. IPNU – IPPNU Kaliwungu pada tanggal 12 Pebruari 2011 di SKB Cepiring Kendal. Penulis adalah Dosen IAIN Walisongo dan  Wakil Sekjen Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah.
[1] Greg Fealy, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, LKiS, 1997,  hal. vii
[2] Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesanteren, Jakarta : LP3ES, 1982, hal. 1
[3] Ibid, hal. 6
[4] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta :  LP3ES, 1980,      hal. 320
[5] KHA. Sahal Mahfudz, Pesantren Mencari Makna, Jakarta :  Pustaka Ciganjur,  1999,   hal. 23
[6] Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam in the Modern World (Tarj),  Bandung : Pustaka,  1987, hal. 3. Dalam catatan kakinya, Seyyed Hossein Nasr memperkuat dengan pendapat Schoun dalam pengantar untuk Understanding Islam, “ Tardisi bukanlah suatu mitologi yang kekanak-kanakan dan usang melainkan suatu sains yang bebar-benar nyata.
[7] Seyyed Hossen Nasr, Ibid, hal. 4-5. Lihat pula Abdurrahman Wahid, makalah NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta : LkiS,  1999, hal 154
[8] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Sala: NST, 1985 ,  hal. 135
[9] KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999, hal. 35
[10] Jalal Muhammad Musa , Nasy’ah al Asy’ariyah wa Tatawwuruha, seperti dikutip oleh Ali Khaidar, Op. Cit,  hal. 67
[11] Al Syathibi, al I’tishom, Baerut :  Dar al Fikr, Vol. III, hal. 136-142. Dikutip dari Imam Baehaqi, Op. Cit,  hal. 35.
[12] KH. Husin Muhammad, Op. Cit,  hal. 35-36
[13] W. Montogmery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Tarj), Tiara wacana, Yogyakarta :  1999, hal. 104.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejaran Analisa Perbandingan, , Jakarta: UI-Press 1986, hal. 61.
[15] Harun Nasution, Ibid, hal 75.
[16] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel ‘Oelama, diterbitkan sebagai suplemen Javasche Coerant 25 Pebruari 1930 dan dimuat kembali sebagai lampiran dalam Anam 1985. Lihat Martin Van Bruinnessen, Op. Cit,  hal. 42.
[17] Ibid, Pasal 3 ayat b.
[18] Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, Jakarta : Gramedia, 1995,  hal. 69-70.
[19] Taqiyyuddin ibn Taymu\iyyah, Minhaj al Sunnah al Nabawiyyah fi Naqd Kalam al syi’ah wa al Qadariyyah,  Marwa Mekka :  Dar al Baz, t.t, vol. I, hal. 526. Seperti dikutup oleh  M. Ali Khalidar, Op. Cit, hal. 68
[20] K.H.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial,  Yogyakarta : LKiS, 1994,  hal. 189
[21] Hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Semarang, Sumber Barokah, 1986,hal. 102, seperti dikutip oleh M. Masyhur Amin, NU & Ijtihad Politik Kenegaraan, Al amin Press, Yogyakarta : 1996,  hal. 86-88.
[22] Penyebutan ASWAJA sebagai madzhab dalam terminologi NU agaknya masih diperdebatkan. Abdurrahman Wahid kurang sependapat jika ASWAJA disebut madzhab, karena akan terjadi patadox; di satu sisi ia sebagai madzhab, namun pada sisi lain karakteristik bahwa ber-NU atau beraswaja adalah bermadzhab fiqih, tauhid dan bertasawuf adalah madzhab itu sendiri. Artinya jika madzhab mengikuti madzhab berarti akan menimbulkan problem dan paradox. Lihat Abdurrahman Wahid dalam makalah, Dilema Pendekatan Tarikh (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 180. Namun demikian penyebutan ASWAJA sebagai madzhab juga dapat dibenarkan, karena bagaimanapun pada dasarnya ASWAJA memakai unsur manhaj (cara berfikir) dan doktrin (manhajiyyan wa ‘aqidiyyah) yang dapat dibedakan dari madzhab lain. Baca KH. Husein Muhammad, Op. Cit, hal.37.
[23] KH. Husein Muhammad, Ibid ,  hal. 39-41.
[24] Said Aqiel Siradj, Latar Kultur dan Politik Kelahiran ASWAJA (ed), Imam Baehaqi, Op. Cit, hal. 3. Namun berbeda menurut KH. Bisri Musthofa yang tidak mencantumkan al Ghazali dalam tokoh tasawuf dalam ASWAJA, baca KH. Bisri Musthofa, Risalah Ahlussunnah wal jama’ah, Yayasan al Ibriz, Kudus : Menara Kudus, 1967, hal. 19. Dikutip dari Dhofier, Op. Cit. hal 149. Untuk lebih jelasnya baca Qanun Asasi NU.
[25] Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini (ed), Yogyakarta :  LKiS, 1999, hal. 153-155
[26] Ulama (mufrd ; alim) berarti orang yang berilmu atau sarjana. Karena itu ada ulama fiqih, ulama hadis, tafsir falak hisab, wirid, tarekat dan sebagainya. Dalam terminology Bahasa Jawa, ulama diistilahkan dengan Kiai, yaitu gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau memimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Di Jawa Barat ( Bahasa Sunda) kiai disebut ajengan. Baca Dhofier, hal. 55
[27] A. Gaffar karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta :  LkiS,  1995, hal. 45. Menurut Mitsuo Nakamura, bahwa pada dasarnya struktur organisasi NU tidak bisa dilepaskan tradisi sunni, yakni  (a). Kepemimpinan spiritual ulama vis-vis umat, (b). Solidaritas kolegaial antara para ulama. Baca Nakamura, Tradisionalisme Radikal Catatn Muktamar Semarang 1979 (ed), hal. 67
[28] Hiroko Horikoshi,  Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta :  P3M, 1987, hal. 114. Baca pula Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit. hal. 55-60
[29] Choirul Anam, Op. Cit, hal. 174
[30] Ahmad Siddiq, Oal-Fikrah al-Nahdliyah, Surabaya : POSSANU Jatim, hal. 26. baca Anam, Op. Cit,  hal. 175
[31] AD-NU Pasal 7, ayat 1-2, hal. 9-10, sebagaimana dikutip Anam,  Ibid, hal. 175
[32] Ibid, hal. 39
[33] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta :  1999, hal. 11
http://ippnuancabkaliwungu.blogspot.co.id/2011/04/ahl-al-sunnah-wa-al-jamaah-sebagai.html

0 komentar:

Posting Komentar